"Sekarang kan supaya data itu lebih valid, maka dipusatkan di Pusdatin," ujar Indah. "Karena untuk dilihat antara data real dari dinas dengan klaim JKP [Jaminan Kehilangan Pekerjaan], harus divalidasi dulu. Supaya benar-benar memberikan informasi yang akurat."
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan, sejauh ini data PHK hanya melalui laporan seluruh Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) daerah, yang juga diakuinya kerap bermasalah dan menimbulkan ketidaksinkronan antarlembaga.
Selain Kemnaker, BPJS Ketenagakerjaan juga tercatat memiliki data PHK, melalui laporan klaim jaminan hari tua (JHT) dan sebagainya, yang diindikasikan sebagai bagian adanya PHK dari perusahaan.
"Kita memiliki dua data. Pertama adalah Data Berbasis dari laporan Dinas Ketenagakerjaan, itu sifatnya bottom up. Memang selama ini data yang kita pakai adalah dari laporan dari Dinas itu," kata dia.
PHK Versi Apindo
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan jumlah total tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang kuartal I tahun ini atau Januari-Maret mencapai lebih dari 40 ribu orang.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan, total jumlah tersebut berasal dari Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan melalui jumlah klaim pengajuan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) selama periode tersebut.
"Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, hanya dalam 3 bulan pertama tahun ini lebih dari 40 ribu pekerja terpaksa mengajukan klaim jaminan kehilangan pekerjaan," ujar Shinta di sela perhelatan sebuah acara di Jakarta, Jumat (13/6/2025).
Shinta mengatakan, PHK terjadi pada sektor industri tekstil, garmen, dan juga elektronik, yang memang selama ini menjadi penopang utama penyerapan tenaga kerja dalam negeri, menjadi sektor yang paling terdampak.
Shinta juga mewanti-wanti kondisi tersebut merupakan hal yang wajar mengingat lemahnya kondisi ekonomi Tanah Air, yang tecermin dalam pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87% di kuartal pertama tahun ini, sekaligus menjadi angka terendah sejak 2021.
(ain)