Bahkan kata Anis bentuk-bentuk tindakan dalam kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 28 tahun 2000 dalam Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yakni, berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara dengan perkusi.
“Kemudian, pada tanggal 19 Komnas HAM melalui surat Nomor 197/TUA/IX/2003 menyerahkan hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat peristiwa kerusuhan 15 Mei 1998 kepada Jaksa Agung selaku Penyidik,”.
Lalu kata Anis pada 2022 pemerintah mengeluarkan Kepres Nomor 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang berat (Tim PPHAM).
"Pada 11 Januari 2023 setelah menerima Laporan Akhir Tim PPHAM, Presiden mengakui Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan 11 peristiwa lainnya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Dan pada 15 Maret 2023 Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat," terang Anis.
"Selanjutnya pada 11 Desember 2023 keluarga korban Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 mendapatkan layanan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," tandas Anis.
Klarikasi Fadli Zon
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon memberikan klarifikasi soal pernyataanya yang membantah bahwa peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada bukti.
Dia menegaskan bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,”kata Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (16/6).
Fadli menambahkan bahwa istilah massal Istilah ‘massal’ menurutnya juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.
Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.
(dec/spt)






























