“Perpresnya posisi terakhir di Setneg [Kementerian Sekretariat Negara], saya tidak tahu lagi perkembangannya pascapergantian presiden,” kata Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq saat dimintai konfirmasi, akhir Desember.
Julian menyebut MIP batu bara awalnya diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang saat itu dipimpin oleh Luhut Binsar Pandjaitan pada era Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Namun, dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di Kabinet Merah Putih, Kemenko Marves dihapuskan.
Penghapusan itu tertuang dalam Peraturan Presiden No. 140/2024 tentang Organisasi Kementerian Negara. Perpres ini menggantikan Perpres No. 68/2019. Sejak ditiadakan, pegawai Kemenko Marves banyak dipindah ke Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan.
“Inisiasi MIP batu bara kan dahulu [dari] Kemenko Marves. Sekarang dilimpahkan ke mana saya tidak dapat info, yang jelas bukan ke Kementerian ESDM,” ujar Julian.
Julian pernah menyebut perpres MIP sebenarnya sudah dalam tahap finalisasi pada medio Agustus 2024.
“Perpres MIP sudah dalam tahap finalisasi dan info terakhir masih menunggu paraf dari Kementerian Keuangan. Diharapkan Perpres MIP dapat diselesaikan sebelum pemerintahan [Jokowi] berakhir,” ujar Julian.
Urgen Diimplementasikan
Sementara itu, Equity Analyst Panin Sekuritas Rizal Nur Rafly berpendapat skema MIP urgen untuk segera diimplementasikan di tengah tekanan sektor industri pertambangan batu bara, terutama sejak pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 11% menjadi 12% tahun ini.
Rizal menyebut sejatinya PPN 12% akan mengurangi margin perusahaan tambang batu bara.
Namun, dengan diterapkannya skema pungut salur, perusahaan batu bara yang setia memenuhi kewajiban pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) memiliki peluang untuk mendapatkan insentif MIP yang berasal dari perusahaan yang tidak memenuhi DMO.
Menurut Rizal, perusahaan batu bara seperti Bukit Asam, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), hingga PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) layak mendapatkan insentif MIP tersebut.
“Jadi ini [skema MIP] berpeluang dampaknya positif buat performa keuangan. Meskipun MIP diterapkan, company tetap akan suffer [merugi] karena kenaikan PPN 12%, cuma ada potensi diminimalisasi dengan penerapan MIP. Jadi margin enggak jatuh banget,” tutur Rizal.
Adapun, MIP dirancang untuk berfungsi sebagai pihak yang menarik kewajiban kompensasi dari perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO.
Skema itu nantinya akan diterapkan ke seluruh penjualan batu bara, kecuali batu bara kokas atau metalurgi (coking coal).
Selain itu, besaran pungutan dana kompensasi batu bara akan berbeda terhadap masing-masing perusahaan, yang dilandasi oleh tiga faktor.
Pertama, rasio tarif yang ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku sama untuk semua perusahaan. Kedua, selisih harga pasar dengan harga khusus batu bara, baik US$70 untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau US$90 untuk penjualan semen pupuk.
Pungutan dari MIP juga akan digunakan untuk menutup selisih harga jual batu bara dalam negeri bagi perusahaan yang melakukan kewajiban DMO. Pemerintah sendiri menetapkan harga batu bara di dalam negeri atau tidak mengacu pada harga batu bara dunia.
Ketiga, volume penjualan batu bara pada masing-masing transaksi penjualan batu bara. Besaran pungutan dana kompensasi tidak tergantung pada realisasi DMO, tetapi besaran dana kompensasi yang disalurkan kembali ke perusahaan sebesar selisih harga akan tergantung pada realisasi DMO.
(wdh)