Bloomberg Technoz, Jakarta - Hampir seratus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) kembali menyerukan atau seruan jilid II terhadap arah kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI soal keprihatinannya mengenai sistem pendidikan kedokternya dan kesehatan.
Seruan mereka pun sebenarnya sudah dilakukan pada bulan Mei 2025 lalu. Namun, suara mereka tidak pernah di dengar dan tidak ada perubahan kebijakan dari Kementerian Kesehatan.
“Kami tidak mendesak untuk mundur (Menkes), tetapi kami menyampaikan bahwa kami sudah memberi ruang juga untuk bisa melihat perubahan yang berjadi berbasiskan suara kami yang sudah kami sampaikan secara khusus. Keputusan pada tanggal 16 Mei yang lalu, kemudian Guru Besar seluruh Indonesia pada tanggal 20 Mei yang lalu,” kata Prof DR Dr Teddy Prasetyono, SpBP(K) dalam tanya media di Gedung FKUI, Kamis (12/06).
“Dalam perjalanannya kami belum melihat adanya perubahan. Jadi kami menyampaikan bahwa sulit bagi kami untuk memberikan kepercayaan kami dalam kemungkinan kemajuan pergerakan pembangunan dunia kesehatan negeri ini,”.
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, M.A pun berharap bisa melakukan audiensi hal ini kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Apa yang kami sampaikan ini pertama didengar oleh Bapak Presiden kita dan kami akan sangat bergembira apabila ada kesempatan untuk beraudiensi dengan Bapak Presiden,”.
Para guru besar FKUI menjabarkan sejumlah poin utama yang menjadi perhatian:
1. Pendidikan dokter dan dokter spesialis tidak dapat disederhanakan
Menjadi seorang dokter bukan sekadar menjalani pelatihan teknis, melainkan melalui proses pendidikan akademik yang panjang, ketat, bertahap sesuai filsafat kedokteran yang mendasari layanan kesehatan oleh seorang dokter. Pendidikan terbaik dilakukan di fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan yang menjalankan pelayanan dan penelitian sesuai standar global.
2. Penyelenggaraan pendidikan dokter di luar sistem universitas memerlukan kerja sama erat dengan fakultas kedokteran
Tanpa sinergi yang baik, kebijakan ini akan menimbulkan ketimpangan kualitas antar dokter, meningkatkan risiko kesalahan dalam pelayanan medis, dan pada akhirnya merugikan pasien dan masyarakat luas.
3. Pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan mengancam pendidikan kedokteran
Selama ini, dosen yang juga berpraktik sebagai dokter di rumah sakit pendidikan menjalankan peran layanan, pengajaran, dan riset secara terpadu. Pemisahan peran ini akan merusak sistem yang sudah berjalan dengan baik dan menurunkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa kedokteran dan dokter muda.
4. Pelayanan kesehatan yang baik hanya dapat diberikan oleh tenaga medis yang dididik dengan standar tinggi
Apabila mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis diturunkan, maka kualitas pelayanan kesehatan akan ikut menurun. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi, prevalensi stunting, kasus TB, serta penyakit tidak menular. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya.
5. Koordinasi restrukturisasi dengan institusi pendidikan setelah penetapan RS Pendidikan Utama
Ketika RS Vertikal sudah ditetapkan sebagai RS Pendidikan Utama oleh Kemenkes, maka perubahan struktur termasuk pembentukan Departemen dan mutasi staf medis yang ada harus dikoordinasikan dengan pimpinan institusi pendidikan.
6. Kolegium kedokteran harus dijaga independensinya untuk melindungi mutu dan kompetensi profesi
Kolegium sebagai lembaga profesi bertanggung jawab menjaga standar kompetensi dan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia.
Kolegium harus tetap mandiri dan bebas dari intervensi kebijakan yang tidak berbasis akademik maupun kepentingan jangka pendek.
Jika peran kolegium dilemahkan, maka akan terjadi degradasi kualitas tenaga medis dan hilangnya kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran di negeri sendiri.
(dec/spt)