Meskipun demikian, jika kedua partai itu meninggalkan koalisi, pemerintah masih memiliki mayoritas tipis. Sesuai aturan legislatif, RUU pembubaran parlemen tidak bisa diajukan kembali dalam enam bulan ke depan, kecuali dalam kondisi tertentu.
Ketua oposisi Yair Lapid menanggapi kekalahannya dalam pemungutan suara tersebut dengan menyatakan: “Ketika koalisi mulai retak, maka akan terus retak. Beginilah rupa sebuah pemerintahan yang mulai sekarat.”
Isu wajib militer bagi pria ultra-Ortodoks (Haredi) menjadi topik sensitif di Israel, terutama karena perang Gaza yang telah berlangsung selama 20 bulan semakin membebani puluhan ribu pasukan cadangan. Militer menyatakan kebutuhan akan tambahan personel di lapangan, sementara Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa pengecualian bagi kelompok ultra-Ortodoks adalah tidak sah.
Partai-partai religius berupaya menunda dan melunakkan kebijakan wajib militer tersebut.
Menjelang pemungutan suara, Netanyahu dan sekutunya menyatakan bahwa pembubaran pemerintahan di tengah krisis nasional saat ini adalah langkah yang keliru.
“Menggelar pemilu sekarang, saat masih ada sandera di Gaza dan isu Iran akan segera mencapai titik krusial, hanya akan melumpuhkan negara,” kata Ze’ev Elkin, anggota koalisi Netanyahu, dalam wawancara radio.
Pemerintahan Netanyahu, yang merupakan gabungan kekuatan paling religius dan sayap kanan dalam sejarah Israel, sebenarnya tidak wajib menggelar pemilu hingga musim gugur 2026. Namun, sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan perang Gaza yang menyusul, popularitas Netanyahu dan koalisinya terus merosot. Survei menunjukkan mereka tidak akan meraih mayoritas dalam pemilu mendatang.
Penerapan wajib militer bagi pria Haredi dinilai akan meringankan tekanan besar terhadap pasukan cadangan Israel, yang selama perang telah ditugaskan berbulan-bulan tanpa henti—mengganggu kehidupan keluarga, dunia usaha, dan perekonomian. Survei publik menunjukkan mayoritas warga mendukung langkah tersebut.
Namun, partai-partai religius tunduk pada otoritas rabinik yang menganggap kebijakan ini sebagai isu eksistensial. Mereka bersikeras para pemuda Haredi harus tetap diizinkan belajar di seminari agama, yang menurut mereka sama pentingnya dengan perang di medan tempur untuk memenangkan peperangan Israel. Dari total 10 juta penduduk Israel, sekitar 1,4 juta adalah warga Haredi.
(bbn)






























