Secara umum, lanjutnya, Lynn mengindikasikan produksi dari smelter nikel pirometalurgi atau berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) di Indonesia masih aman untuk tahun ini.
Untuk nickel pig iron (NPI), misalnya, Tsingshan memproyeksikan output atau produksi dari Indonesia mencapai 1,74 juta ton pada 2025.
Margin Tergerus
Di tempat terpisah, Global Sales Head Eternal Tsingshan Group Ltd Steven Chen mengutarakan margin industri smelter nikel—tidak hanya di Indonesia, tetapi di tingkat global — tengah tertekan, bahkan ada yang mencapai nol dan nyaris nol.
Industri smelter, terangnya, tengah tertekan oleh situasi ketidakpastian global akibat sentimen perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China. Belum lagi, harga nikel terus terpangkas dan menjauhi rekor seperti periode short squeeze pada 2022.
“Kami juga mendengar soal pemangkasan produksi baja nirkarat di Indonesia. Di Morowali juga terjadi pemangkasan kecil. Ini adalah fenomena lazim hari-hari ini, baik di China maupun di Indonesia,” terangnya di sela agenda Critical Minerals Conference & Expo, Rabu (4/6/2025).
Chen menggambarkan harga baja nirkarat di Negeri Panda juga kian rontok. Untuk itu, Tsingshan saat ini lebih fokus untuk mengirimkan produksinya di Indonesia ke pasar-pasar luar negeri lainnya, ketimbang reekspor ke negara asal perusahaan itu, yaitu China.
“Saya pikir pada kuartal I-2025, ekspor ke China mencakup 29% dari total produksi baja nirkarat Indonesia. Ini adalah realisasi terendah dalam, mungkin, bertahun-tahun terakhir,” tuturnya.
Melihat kondisi harga nikel dan baja nirkarat yang bergerak makin melemah, Chen menyebut tidak menutup kemungkinan Tsingshan juga akan merevisi rencana produksi NPI mereka.
“Tentu saja. Seperti saya katakan, margin [industri smelter saat ini] terus menurun, jika dibandingkan dengan beberapa bulan terakhir atau akhir tahun lalu. Perusahaan [smelter] sedang berjuang dengan isu ini. Jadi ya [kami mempertimbangkan pemangkasan produksi NPI].”
Terkait dengan rencana bisnis Tsingshan di Indonesia untuk 2025, Chen menyebut raksasa baja nirkarat terbesar di dunia itu akan memantau perkembangan margin di industri smelter terlebih dahulu.
“Katakanlah jika margin terus menipis, kami akan melihat kemungkinan perluasan pemangkasan atau bahkan penutupan sementara produksi di lini-lini operasi yang kurang prospektif. Menurut saya dalam waktu yang tidak lama lagi. Saya akan memberi kabar lagi nanti,” ujarnya.
Nikel diperdagangkan di harga US$15.438/ton hari ini di LME, melemah 0,64% dari penutupan hari sebelumnya.
Harga nikel sepanjang 2024 menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.
Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terpelanting 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.
Pemerintah Selidiki
Sehari sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Setia Diarta menyebut pemerintah akan melakukan pengecekan terhadap laporan bahwa Tsingshan menghentikan sementara sejumlah lini produksi baja nirkaratnya di IMIP.
“Saya lagi nanya ke mereka. Nanti saya kabari lagi,” kata Setia saat dimintai konfirmasi, ditemui, Selasa (3/6/2025).
“Kondisinya ini biasanya kami dapat [informasinya] case by case. Kalau seperti Tsingshan, kami harus konfirmasi dan kami analisis dahulu, baru kami bisa kasih statement.”
Menurut Setia, hingga saat ini pihak Tsingshan belum memberikan pernyataan atau keterangan apapun kepada Kemenperin terkait dengan kabar penyetopan sementara sebagian lini produksinya di IMIP.
Setia memastikan hingga saat ini Kemenperin belum menerima laporan apapun dari perusahaan-perusahaan smelter, khususnya dari China, yang mengantongi izin usaha industri (IUI) terkait dengan adanya isu gangguan produksi akibat tekanan harga nikel.
“Belum ada report,” katanya.
Perwakilan IMIP menolak memberikan komentar saat dimintai konfirmasi oleh Bloomberg Technoz.
Tsingshan baru-baru ini dikabarkan telah menghentikan sementara sejumlah lini produksinya di kawasan IMIP sejak awal Mei guna menjaga harga baja nirkarat di tengah tren pelemahan permintaan dan ketidakpastian perdagangan global akibat perang tarif AS-China.
Informasi itu disampaikan sumber yang mengetahui situasi tersebut kepada Bloomberg, tetapi enggan disebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara ke publik.
Adapun, lini produksi yang dihentikan kini masuk masa perawatan, tanpa kejelasan kapan akan kembali beroperasi. Akibatnya, salah satu pabrik penggilingan di kawasan tersebut juga ikut berhenti beroperasi.
Di Indonesia, Tsingshan merupakan salah satu investor terbesar hilirisasi nikel di Morowali.
Korporasi China itu memiliki unit bisnis PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), di mana Tsingshan Holding Group Company Ltd menggenggam saham 50% dan Ruipu Technology Group Company Ltd sebesar 20%.
Kemudian, masing-masing 10% dimiliki oleh Tsingtuo Group Co Ltd dan Hanwa Company Ltd, dan investor asal Indonesia, yaitu PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Dalam operasinya, PT ITSS merupakan pemegang IUI yang diterbitkan oleh Kemenperin sejak 2019, dan mendapatkan izin operasi hingga 2049.
Selain ITSS, Tshingsan Group juga memiliki perusahaan lain yakni PT Sulawesi Mining Investment Indonesia, PT Guangqing Nickel Corporations Indonesia, PT Indonesia Ruipu Nichrome, PT Tsingshan Steel Indonesia dan PT Dein Baja Indonesia.
Secara keseluruhan, Tsingshan Group di Kawasan Industri Morowali ini juga mampu menghasilkan baja nirkarat hingga 3 juta ton, NPI 2 juta ton, dan baja karbon 3,5 juta ton per tahun.
Menurut data Macquarie Group Ltd, Tsingshan menyumbang hampir sepertiga dari total produksi baja nirkarat global pada 2024. Investasi Tsingshan di Morowali memang dirancang untuk memanfaatkan posisi strategis Indonesia sebagai penguasa pasar nikel dunia.
Dalam catatan Macquarie pada April, China dan Indonesia menyumbang 71% dari total produksi baja nirkarat dunia.
Namun, perlambatan ekonomi China menekan permintaan domestik, sementara ekspor dari kedua negara kini menghadapi tekanan dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)
































