Berdasarkan data Bloomberg, IHSG pada Juni 2024 memang mencatatkan kenaikan sebesar 1,33%. Tetapi, angka tersebut bukanlah yang tertinggi; pada Juni 2016, IHSG pernah melonjak hingga 4,58% hingga mencerminkan fluktuatif yang amat cepat.
IHSG Bak Roller Coaster dalam 10 Tahun Terakhir
Data historis pada 2020 IHSG juga sempat mencatatkan penguatan 3,19%. Pergerakan yang optimis ini melanjutkan tren positif dari Juni 2019 yang mencatatkan penguatan paling melesat 2,41%. Bersamaan dengan kenaikan 1,60% pada Juni 2017.
Berseberangan jauh dengan itu, pada Juni 2015 kala itu IHSG ambles 5,86% yang imbas melemahnya portofolio kredit perbankan hingga menekan saham-saham Big Banks saat itu. Penurunan ini menjadikan tren negatif di bulan Juni yang paling dalam.
Adapun catatan pelemahan terdalam selanjutnya terjadi pada Juni 2022 baru-baru ini mencapai 3,32%. Tekanan datang dari global. Kala itu, IHSG tersengat sentimen kenaikan suku bunga The Fed hingga 75 basis poin.
Ditambah lagi, kebijakan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diputuskan di tengah-tengah lonjakan inflasi, isu hangat perlambatan ekonomi, sampai dengan peningkatan angka pengangguran, menyeret capital outflow dan migrasi sejumlah dana investor ke aset yang lebih aman.
Sentimen Perdagangan Saham di Juni 2025
Untuk Juni 2025, sejumlah sentimen dan katalis berpotensi mempengaruhi IHSG selama satu bulan ke depan terutama rilisnya data inflasi Indonesia. BPS melaporkan, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2025 mengalami deflasi 0,37% atau lebih dalam dibanding penilaian konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg sebesar 0,17%.
BPS menyebut, RI menderita deflasi imbas terjadinya penurunan IHK dari sebelumnya 108,47 pada April 2025 menjadi 108,07 pada Mei 2025. Secara tahunan, terjadi inflasi 1,6% dan secara tahun berjalan inflasi 1,19%. Dengan itu, tingkat inflasi Mei lebih dalam dibandingkan Mei 2024.
BPS mencatat deflasi di Mei 2025 disumbang oleh tembakau, hingga menjadi kelompok utama penyumbang deflasi. Lebih lanjut, kelompok pengeluaran penyumbang deflasi terbesar adalah makanan dan minuman (mamin) dan tembakau.
Selain inflasi, kemarin Senin, juga terdapat rilis data dari BPS, di mana surplus neraca perdagangan Indonesia pada April turun tajam dibanding bulan sebelumnya dengan nilai surplus sempat mencapai US$ 4,32 miliar.
Adapun nilai surplus dagang RI pada April tercatat hanya US$ 160 juta, jauh di bawah estimasi pasar dan analis yang memprediksi masih akan ada surplus US$ 2,8 miliar.
Melihat data historis, nilai surplus neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 adalah yang terendah dalam lima tahun. Pada April 2020 silam, kala dunia terhentak pandemi Covid-19, neraca perdagangan RI defisit hingga US$ 375 juta.
Agenda Penting di Juni 2025
Selanjutnya pada Juni 2025 ini akan terdapat agenda laporan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), dan juga pengumuman penjualan ritel (retail sales). Termasuk juga akan ada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia terkait suku bunga acuan.
Adapun jika dibandingkan dengan regional, atau rekan-rekannya di Asia, kompak keseluruhannya lesu– tidak ada kenaikan signifikan ataupun pelemahan yang masif, tercatat Bursa Saham Korea Stock Exchange atau KOSPI melemah 0,11%. Sementara itu, Hang Seng Index Hong Kong mencatat penguatan 0,63%, NIKKEI 225 menguat 0,32%, dan Straits Times Index Singapore hijau 0,14% pada data historis rata-rata perdagangan saham dalam 10 tahun.
Jika mencermati lebih lanjut, penguatan paling tinggi secara historis dilangsungkan oleh Hang Seng Index Hong Kong dengan melesat mencapai 6,38% pada Juni 2020, melanjutkan tren bullish yang sama dari satu tahun sebelumnya 6,1% Juni 2019.
Efek secara langsung dari redanya kegelisahan pasar terhadap resesi ekonomi usai prospek pemulihan global dari pandemi Covid-19 di tahun 2020 tersebut jadi sentimen utama kala itu.
(fad)





























