Logo Bloomberg Technoz

Merz berbicara langsung kepada Netanyahu pada Minggu dan menegaskan bahwa “perlu segera mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza.”

Pernyataan ini mencerminkan perubahan sikap di Eropa serta semakin terisolasinya posisi Israel di panggung internasional.

Survei menunjukkan ketidakpuasan publik yang meningkat. Dalam jajak pendapat oleh Civey untuk harian Tagesspiegel pekan lalu, lebih dari separuh responden menyatakan bahwa ekspor senjata dari Jerman ke Israel adalah keputusan yang keliru.

Warga Palestina meembawa kotak bantuan kemanusiaan di Koridor Netzarim, Gaza bagian tengah, Kamis, (29/5/2025). (Ahmad Salem/Bloomberg)

Sentimen serupa muncul di berbagai negara Eropa lainnya. Aksi protes pun meningkat, termasuk di Belanda yang menyaksikan salah satu demonstrasi terbesar dalam beberapa tahun terakhir, dengan puluhan ribu orang menuntut dihentikannya perang.

“Bagi sebagian besar pemerintah Eropa, mendukung perang Israel sudah tidak lagi bisa dipertahankan, meskipun masih ada komitmen kuat terhadap keamanan Israel,” kata Julien Barnes-Dacey, Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR).

Semakin banyak negara yang menyerukan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi terhadap Israel. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menyatakan pada Mei bahwa ada “mayoritas kuat” yang mendukung peninjauan ulang perjanjian dagang dengan Israel. Merz kemudian menyampaikan bahwa Jerman — salah satu pemasok senjata utama Israel — sedang mempertimbangkan pembatasan ekspor militer.

Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar Israel, dengan nilai perdagangan mencapai US$47 miliar tahun lalu menurut Dana Moneter Internasional (IMF). Perubahan kebijakan di Eropa bisa berdampak besar terhadap ekonomi Israel, yang saat ini sudah terpukul akibat perang.

Inggris telah mengumumkan rencana untuk menghentikan sementara pembicaraan perdagangan bebas dengan Israel dan menjatuhkan sanksi terhadap beberapa individu dan entitas yang dianggap terlibat dalam kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

Meski begitu, negara-negara Eropa tetap mendukung hak Israel untuk membela diri. Namun, kemungkinan sanksi dari Uni Eropa bisa menghadapi tentangan dari negara seperti Hungaria. Selain itu, pembatasan ekspor senjata juga berpotensi merugikan industri pertahanan Eropa serta memicu aksi balasan dari Israel, yang juga mengekspor sistem pertahanan udara dan perlengkapan militer lainnya ke Eropa.

Kontroversi Bantuan Kemanusiaan

Kemarahan di Eropa kian memuncak setelah Israel dan AS mendukung sebuah rencana distribusi bantuan ke Gaza yang dikritik tajam. PBB menyatakan bahwa rencana tersebut tak cukup untuk memenuhi kebutuhan lebih dari dua juta warga Palestina dan justru mempolitisasi penyaluran bantuan.

Gaza Humanitarian Foundation, organisasi nonprofit asal Swiss yang menjalankan program ini, memulai distribusi bantuan pekan lalu dan mengklaim pasokan makanan akan cukup seiring bertambahnya pusat distribusi.

Israel beralasan bahwa skema ini penting agar bantuan tidak jatuh ke tangan Hamas. Israel juga menyatakan bahwa peningkatan serangan darat dan udara di Gaza dilakukan untuk memaksa Hamas menyerah dan membebaskan 58 sandera yang masih ditahan.

Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikelola Hamas, lebih dari 54.000 warga Gaza telah tewas sejak perang dimulai. Di pihak Israel, lebih dari 400 tentara dilaporkan gugur dalam pertempuran di Gaza.

Gambar anak-anak kelaparan, terluka, dan kehancuran total wilayah Gaza terus menyebar di berita dan media sosial, memicu demonstrasi dan meningkatkan tekanan internasional agar Israel menghentikan pemboman serta memperluas akses bantuan kemanusiaan.

Pada Jumat lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa Eropa harus mengambil sikap lebih tegas terhadap Israel jika situasi di Gaza tak segera membaik.

“Tingkat penderitaan manusia di Gaza sudah tidak tertahankan,” kata Prancis dalam pernyataan bersama dengan Inggris dan Kanada pada 19 Mei. “Kami tidak akan tinggal diam sementara Pemerintah Netanyahu terus melakukan tindakan yang keterlaluan ini.”

Kerusakan akibat serangan udara Israel pada 13 Mei di luar Rumah Sakit Eropa Gaza di Khan Younis timur, Rabu (14/5/2025). (Ahmad Salem/Bloomberg)

Prancis, yang memiliki komunitas Yahudi dan Muslim terbesar di Eropa, kini berupaya menggalang dukungan internasional bagi pengakuan negara Palestina. Bulan ini, Prancis dijadwalkan menjadi tuan rumah bersama Arab Saudi dalam konferensi PBB di New York.

Dukungan publik terhadap inisiatif tersebut cukup kuat. Dalam survei oleh Odoxa bulan lalu, hampir dua pertiga warga Prancis mendukung pembentukan negara Palestina, dan 61% setuju jika Israel dikenakan sanksi politik maupun ekonomi. Dukungan terhadap Macron juga meningkat, sebagian besar karena pergeseran sikapnya terhadap konflik Gaza.

Saat ini, sekutu terpenting Israel, Amerika Serikat, masih berdiri di belakang pemerintahan Netanyahu. Namun, Presiden Donald Trump telah berulang kali menyuarakan keinginannya untuk menstabilkan Timur Tengah dan mengakhiri konflik di Gaza.

Trump “justru bisa memperkuat dorongan Prancis dan Saudi untuk negara Palestina, karena hal itu hanya bisa terjadi jika ada gencatan senjata di Gaza,” ujar Rym Momtaz, pemimpin redaksi Strategic Europe, blog milik Carnegie Europe.

Netanyahu merespons kritik tersebut dengan menuding Macron dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer sebagai pihak yang “mendorong terulangnya kekejaman serupa terhadap Israel.”

Bagi Uni Eropa, mencapai konsensus bukan hal mudah, karena kerap memerlukan negosiasi panjang. Namun menurut Barnes-Dacey dari ECFR, komentar Jerman adalah “indikasi nyata” bahwa dinamika telah berubah.

“Namun jika Eropa ingin benar-benar mengubah sikap Israel, mereka harus mendukung pernyataan mereka dengan langkah nyata,” pungkasnya.

(bbn)

No more pages