Kunjungan ini dilakukan menyusul perjalanan serupa yang dilakukan oleh para pemimpin China, Spanyol, Jepang, dan negara-negara lain, saat Asia Tenggara menjadi pusat perhatian di tengah ketidakpastian seputar rantai pasokan dan perdagangan global.
Vietnam dan Prancis meningkatkan hubungan menjadi kemitraan strategis yang komprehensif pada kunjungan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam, ke Paris.
Selama kunjungan pada Oktober tersebut, para pemimpin membahas peningkatan kerja sama keamanan dan pertahanan, serta bekerja sama lebih erat di berbagai bidang seperti kedirgantaraan, infrastruktur transportasi, dan energi terbarukan.
Saat Eropa mengkalibrasi prioritasnya di tengah ketidakpastian tarif AS, Macron mengatakan Prancis ingin memperdalam hubungan ekonomi dengan negara adikuasa regional, China, setelah melakukan panggilan telepon dengan Presiden Xi Jinping pada Kamis (22/5/2025) lalu.
"Investasi China disambut baik di Prancis," kata Macron dalam unggahannya di X. "Namun, perusahaan-perusahaan kita harus mendapatkan keuntungan dari persaingan yang adil di kedua negara kita," ujarnya.
Selain kesepakatan bisnis, Macron juga didesak untuk mengangkat isu-isu hak asasi manusia selama berada di Vietnam dan mendesak pembebasan puluhan aktivis masyarakat sipil.
"Tindakan keras Pemerintah Vietnam yang luas dan intens terhadap kebebasan berbicara dan berkumpul adalah kebalikan dari apa yang dijanjikannya kepada Prancis dan Uni Eropa," kata Bénédicte Jeannerod, Direktur Human Rights Watch Prancis.
"Pihak berwenang telah memenjarakan semakin banyak pendukung demokrasi dan pembangkang, serta menolak reformasi," jelas Jeannerod.
Macron juga akan mengunjungi Universitas Sains dan Teknologi di Hanoi pada Selasa (27/5/2025), di mana ia akan menyampaikan pidato tentang masa depan hubungan Prancis dan Vietnam.
(bbn)





























