Logo Bloomberg Technoz

Swati Pandey - Bloomberg News

Bloomberg, Singapura berisiko mengalami resesi teknikal akibat ketegangan tarif global, bahkan setelah ekonominya memulai tahun 2025 dengan capaian yang lebih kuat dari perkiraan.

Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) mengatakan dalam estimasi akhirnya pada Kamis (22/5/2025), produk domestik bruto (PDB) tumbuh 3,9% dalam tiga bulan hingga Maret dari tahun sebelumnya. Angka ini dibandingkan dengan perkiraan median pertumbuhan 3,6% dalam survei Bloomberg terhadap para ekonom, dan perkiraan lanjutan pemerintah sebesar 3,8%.

Pada basis kuartalan yang disesuaikan secara musiman, PDB turun 0,6%, dibandingkan dengan perkiraan kontraksi 1%. Dolar Singapura dan indeks acuan Straits Times sedikit berubah setelah laporan ini terbit.

MTI mempertahankan perkiraan pertumbuhan PDB 2025 yang baru-baru ini diturunkan ke 0%-2% karena tarif AS mengaburkan prospek perdagangan global. Perdana Menteri Lawrence Wong sebelumnya memperingatkan bahwa resesi tidak bisa diabaikan.

"Resesi teknikal yang terjadi selama dua kuartal berturut-turut dengan pertumbuhan negatif secara quarter-to-quarter (qtq) adalah suatu kemungkinan," kata Beh Swan Gin, Sekretaris Tetap Kementerian Perdagangan, kepada wartawan. "Itu tidak serta merta sama dengan resesi ekonomi penuh," seperti yang terlihat pada angka PDB secara year-on-year (yoy).

Singapura mengalami resesi teknikal terakhir kali pada puncak pandemi Covid-19 tahun 2020. Sebelumnya, negara kota ini mengalami empat kontraksi kuartalan berturut-turut sejak kuartal Juni 2008.

PDB Singapura qtq. (Bloomberg)

Angka yang lebih baik dari perkiraan pada kuartal pertama didorong oleh aktivitas manufaktur dan ekspor karena perusahaan-perusahaan bergegas menghindari pengenaan tarif AS yang lebih tinggi.

Momentum itu kini "berisiko memudar," kata Charu Chanana, Kepala Strategi Investasi Saxo Markets, seraya menambahkan, "penyangga fiskal dan pembuatan kebijakan yang proaktif di Singapura menawarkan ruang untuk meredam setiap guncangan eksternal." 

Data ini menunjukkan bagaimana perang dagang AS-China dan pemulihan ekonomi China yang lamban semakin menjalar ke kawasan ini pada awal tahun. Sejak saat itu, dua negara dengan ekonomi terbesar dunia itu menyatakan gencatan senjata, menyetujui jeda selama 90 hari di mana mereka menurunkan tarif pada barang-barang satu sama lain.

"Prospek ekonomi global masih diliputi oleh ketidakpastian yang signifikan, dengan risiko yang cenderung ke arah negatif," kata Beh.

Ketidakpastian ini bisa menyebabkan kemunduran aktivitas ekonomi yang lebih besar dari perkiraan, katanya, seraya menambahkan bahwa eskalasi ulang perang tarif akan memicu perang dagang global yang dahsyat. Ia juga memperingatkan, gangguan pada proses disinflasi global dan risiko resesi akan mengganggu arus modal.

Atas dasar ini, pertumbuhan "sektor berorientasi luar" seperti manufaktur, perdagangan grosir, transportasi, dan penyimpanan diperkirakan akan melambat tahun ini. Sektor keuangan dan asuransi juga mungkin akan tertekan oleh aktivitas perdagangan yang lemah. Prospek sektor-sektor yang berhubungan dengan konsumen juga tampak suram.

Meski perdagangan menyumbang sekitar tiga kali PDB-nya, Singapura tetap sangat rentan terhadap perlambatan berkelanjutan dalam perdagangan global. Kementerian Perdagangan mengatakan akan menyesuaikan perkiraan pertumbuhannya sesuai kebutuhan.

Poin-poin penting dari laporan PDB:

  • Manufaktur naik 4% yoy
  • Konstruksi naik 5,5% yoy
  • Industri penghasil jasa naik 3,6% yoy

Pada kesempatan yang sama, Wakil Direktur Pelaksana Otoritas Moneter Singapura (MAS) Edward Robinson mengatakan MAS akan membuat "penilaian komprehensif" menjelang pertemuan kebijakannya pada Juli.

"Sikap kebijakan tetap tepat untuk saat ini," ungkapnya.

Bulan lalu, MAS melonggarkan pengaturan kebijakan moneternya untuk kedua kalinya tahun ini.

Bloomberg Economics memperkirakan pertumbuhan 0,9% tahun ini, meski melihat adanya beberapa risiko positif dari gencatan senjata perdagangan AS-China selama 90 hari. Faktor pendukung ekonomi Singapura lainnya ialah hasil Pemilu bulan ini.

"Performa kuat dari People’s Action Party yang berkuasa di Singapura dalam pemilihan umum pada 3 Mei mengurangi ketidakpastian pada titik kritis—saat pelaku bisnis dan investor menghadapi perubahan hubungan perdagangan dan keamanan global yang dijungkirbalikkan Presiden AS Donald Trump," kata Tamara Mast Henderson, ekonom ASEAN untuk Bloomberg Economics.

(bbn)

No more pages