Logo Bloomberg Technoz

Pendorong terbesar adalah, permintaan emas oleh bank sentral terutama dari negara-negara berkembang. 

"Negara-negara emerging market kemungkinan akan tetap menjadi pembeli emas terbesar di tengah kekhawatiran yang masih berlanjut perihal prospek ekonomi global, inflasi, dampak tarif dan ketergantungan terhadap dolar AS," kata Grant Sporre, Global Head of Metals & Mining Bloomberg Intelligence bersama Analyst Emmanuel Munjeri, dalam kajian yang dipublikasikan hari ini.

Pembelian emas oleh bank sentral di seluruh dunia pada kuartal pertama memang menurun dibanding tahun 2024. Namun, angkanya diprediksi akan melampaui 1.000 ton pada 2025 ini di tengah harga emas yang tinggi. Dus, kejatuhan harga saat ini mungkin akan dilihat sebagai peluang bagi bank sentral untuk menambah pembelian.

Pada perdagangan Selasa ini, sehari setelah hasil negosiasi dagang AS-China diumumkan, harga emas spot di pasar global diperdagangkan di kisaran US$ 3.261 per troy ounce.

Level tersebut sudah turun dari posisi penutupan tertinggi pada 6 Mei lalu di US$ 2.431 per troy ounce. Namun, level harga itu naik 0,7% dibanding posisi penutupan hari sebelumnya.

Daya tarik emas yang sejak Liberation Day, hari ketika Trump mengumumkan pengenaan tarif resiprokal ke puluhan negara di dunia pada awal April lalu, melonjak sebagai safe have asset, terancam semakin luruh terutama bila kesepakatan dua negara itu bertahan lama.

Pada saat yang sama, risiko perekonomian AS terjebak stagflasi di tengah kondisi pasar kerja yang masih resilien, sejauh ini telah mengikis ekspektasi terhadap pemangkasan bunga acuan Federal Reserve. 

Pasar yang semula memperkirakan akan ada empat sampai tiga kali penurunan suku bunga, kini mengurangi harapan dengan memprediksi hanya akan ada dua kali penurunan bunga The Fed tahun ini.

Dua hal tersebut, perang dagang yang mereda serta penurunan Fed fund rate yang lebih sedikit, menjadi sentimen negatif bagi harga emas.

Rekor harga emas di kisaran US$ 3.500 per troy ounce mungkin tidak akan mudah dicapai dalam waktu dekat dengan kini investor keluar dari aset safe haven dan beralih ke saham.

Minat bank sentral

Meski sekilas kabar baik kesepakatan dua negara besar itu telah memangkas harga emas, karena dana global yang semula parkir di sana mencari perlindungan kembali keluar menyerbu saham dan aset berisiko lain, di pasar kini masih cenderung meraba efek konkret dari penurunan tarif AS-China.

Kesediaan dua negara menurunkan tarif secara signifikan, namun hanya berlaku sampai 90 hari, di tengah potensi pengenaan tarif resiprokal di banyak negara lain yang juga masih tanda tanya, dinilai akan tetap berdampak tak kecil terhadap perekonomian global.

Itu yang membuat permintaan akan emas masih bertahan stabil dengan kenaikan harga sampai jelang pembukaan pasar Eropa sore ini.

Hasil survei tahunan World Gold Council mendapati, ada peningkatan tren dedolarisasi di mana sebanyak 62% responden memperkirakan proporsi dolar AS dari total cadangan devisa akan berkurang lima tahun dari sekarang.

Angka tersebut naik dibanding ekspektasi pada 2023 sebesar 55. Meski 30% responden dari bank sentral negara maju mengatakan proporsi dolar AS dari cadangan devisa tidak berubah, hanya 11% dari bank sentral emerging market yang sependapat.

Sebaliknya, daya tarik emas terus meningkat. Sebanyak 69% responden memperkirakan emas akan menempati proporsi cadangan devisa yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Emas masih menjadi salah satu aset kunci bank sentral dalam menimbun cadangannya. Sebanyak 81% responden memperkirakan kepemilikan bank sentral global akan emas bakal meningkat dalam 12 bulan ke depan, dilatari oleh pertimbangan suku bunga, inflasi, juga ketidakstabilan geopolitik.

Bloomberg Intelligence mencatat, keinginan bank sentral mendiversifikasi cadangan devisa dari dolar AS akan membuat permintaan terhadap emas bakal tetap kuat setelah pada 2024 lalu mencetak rekor pembelian hingga 1.086 ton. 

Meski pembelian emas oleh bank sentral pada kuartal 1-2025 turun 21% dibanding periode yang sama tahun lalu, menyusul rekor harga emas yang berulang pecah, penurunan harga yang mulai terjadi kini dinilai akan jadi peluang masuknya lagi bank sentral memborong emas.

Tiongkok masih jadi yang terbesar memborong emas. Disusul oleh bank sentral Polandia, India, Azerbaijan juga Turki. Pada kuartal pertama lalu, Uzbekistan jadi pembeli emas terbesar.

Analis Bloomberg Intelligence mengatakan, pembelian besar emas oleh bank sentral terutama akan dilakukan oleh negara-negara yang terkena sanksi dengan proporsi emas yang masih rendah dibanding total cadangan devisanya.

"Peningkatan ketegangan politik dengan AS bisa memacu Tiongkok dan Rusia menambah lebih banyak cadangan emasnya," kata Bloomberg Intelligence.

Berdasarkan data IMF, bank sentral pemilik cadangan emas terbesar di dunia saat ini adalah Amerika Serikat dengan kepemilikan resmi sebanyak 8.133,5 metrik ton. 

Kepemilikan total emas dari 15 negara mencapai 80% dari total yang tercatat di dunia, setara dengan 36.234 ton menurut perhitungan Bloomberg Intelligence. Turki dan Rusia memiliki 35% cadangan devisa dalam bentuk emas. Sementara negara maju memiliki cadangan emas hingga di atas 70%. Adapun Tiongkok dan India baru memiliki cadangan emas devisa sekitar 15%. 

(rui)

No more pages