Bersamaan dengan itu, saham-saham LQ45 unggulan ada yang jatuh dalam hingga menempati jajaran top loser ialah saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) yang jatuh 5,86%, saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) melemah 5,09%, dan saham PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) drop 4,44%.
Kemudian saham LQ45 yang melemah dalam mneyusul saham PT Indosat Tbk (ISAT) yang ambles 4,36%, saham PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) yang jatuh 3,88%, dan saham PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES) yang terpeleset 3,66%.
Bursa Saham Asia lainnya justru menguat. Index Ho Chi Minh Stock Exchange (Vietnam), Shenzhen Comp. (China), CSI 300 (China), NIKKEI 225 (Tokyo), Hang Seng (Hong Kong), Shanghai Composite (China), KOSPI (Korea Selatan), dan TOPIX (Jepang), yang berhasil menguat masing-masing 1,55%, 1,35%, 0,56%, 0,41%, 0,37%, 0,28%, 0,22%, dan 0,09%.
Di sisi berseberangan, IHSG (Indonesia), PSEI (Filipina), SETI (Thailand), SENSEX (India), KLCI (Malaysia), Straits Time (Singapura), dan Weighted Index (Taiwan) yang terpeleset masing-masing 1,42%, 1,17%, 1,12%, 0,51%, 0,46%, 0,44% dan 0,01%.
Jadi, IHSG adalah indeks dengan pelemahan paling dalam dan terlemah di Asia dan juga ASEAN.
Sentimen pada perdagangan hari ini utamanya datang dari dalam negeri. Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia per April. Hasilnya, cadangan devisa Indonesia merosot cukup tajam. Depresiasi nilai tukar rupiah menjadi salah satu penyebabnya.
BI memaparkan cadangan devisa per April berada di US$ 152,5 miliar. Turun US$ 4,6 miliar dibandingkan bulan sebelumnya dan menjadi yang terlemah sejak November tahun lalu atau dalam 5 bulan.
“Perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang makin tinggi,” sebut laporan BI.
Pada 9 April, rupiah sempat ambles di level terlemah sepanjang sejarah. Kala itu, mata uang Tanah Air Indonesia berada di posisi Rp 16.957/US$ dalam perdagangan intraday.
Ke depan, BI memandang posisi cadangan devisa cukup memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal. Ini karena prospek ekspor masih terjaga, neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan surplus, serta persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.
Data tersebut diyakini dapat mempengaruhi pandangan pasar mengenai prospek ekonomi Indonesia kedepan.
(fad/wep)





























