Upaya tersebut dilakukan MK, juga dalam rangka menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa "orang lain" pada Pasal 27A UU ITE. Arief kembali menegaskan, frasa ‘orang lain’ merupakan individu atau perseorangan dan mengecualikan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
“Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa "orang lain" tidak dimaknai "kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan,” tegas Arief.
DPR sudah mengesakan RUU revisi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE menjadi undang undang. Namun sayangnya UU ITE hasil revisi itu tak membuat produk hukum baru itu lebih baik dari sebelumnya. Masih ada sejumlah pasal karet hingga pasal yang mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Menurut Dewan Pers terdapat beberapa pasal dalam UU ITE hasil revisi yang masih menjadi ancaman bagi kerja-kerja jurnalistik. Contohnya, Pasal 27A, Pasal 27B dan Pasal 28 ayat (1) pada revisi kedua atas UU ITE.
Ketua Dewan Pers kata Ninik Rahayu, berpotensi mengebiri pers karena karya jurnalistik yang didistribusikan menggunakan sarana teknologi dan informasi elektronik (di internet) terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai oleh pihak tertentu sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian.
Kemudian adapun ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun. Selain itu, aparat Kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan atas dasar tuduhan melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam revisi kedua atas UU ITE ini.
(azr/roy)






























