Logo Bloomberg Technoz

Indonesia masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income country) dengan pendapatan nasional bruto alias gross national income (GNI) mencapai US$ 4.580 per kapita atau sekitar Rp77,22 juta per kepala pada tahun 2023.

Di ASEAN, selain Indonesia, ada dua negara yang juga masuk kategori upper-middle income country, yaitu Malaysia, dan Thailand. Di dua negara itu, persentase negara miskin jauh lebih rendah yaitu masing-masing 1,3% dan 7,1%. 

Memakai ambang batas kemiskinan yang sama, negara lain yang sejatinya belum termasuk upper-middle income country seperti Vietnam, Filipina dan Laos, masing-masing memiliki tingkat kemiskinan 18,2%, lalu 50,6% dan 68,5%. Dengan kata lain, Indonesia hanya kalah dari Laos bila itu tentang persentase penduduk miskin di ASEAN menurut Bank Dunia.

Macro Poverty Outlook World Bank, April 2025: Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 4,8% tahun ini (World Bank)

Diklaim Terendah

Bila mengacu data Badan Pusat Statistik, sebagaimana hasil Susenas terakhir pada September 2024, persentase penduduk miskin di Indonesia 'hanya' 8,57% dari total populasi atau sekitar 24,06 juta orang.

Persentase itu menjadi yang terendah sejauh yang dicatat sejak pertama kali angka kemiskinan diumumkan oleh BPS pada tahun 1960 silam.

Kualifikasi penduduk miskin di Indonesia versi BPS memakai Garis Kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Dengan demikian, di negeri ini, orang yang memiliki pengeluaran sebesar Rp595.242 per bulan, termasuk orang miskin versi BPS.

Bila satu bulan ada 30 hari, itu berarti ukurannya setara Rp19.841 per hari. Sementara Bank Dunia memakai ukuran Rp32.578 orang per hari, hanya berselisih Rp12.737 saja namun signifikan mempengaruhi persentase jumlah penduduk miskin.

Bekerja tapi Tetap Miskin

Lepas dari debat ukuran kemiskinan siapa yang sejatinya lebih layak digunakan, pemberantasan kemiskinan di Indonesia masih menyisakan isu mendasar yang belum dipecahkan sampai hari ini.

Di balik jumlah penduduk miskin di RI versi BPS sebanyak 24,06 juta orang tersebut, 40% dari mereka bukanlah pengangguran menurut data Susenas Maret 2024.

Mereka bekerja dan berkontribusi pada perekonomian, namun tetap saja miskin. Angka itu bahkan nyaris tidak berubah dalam sepuluh tahun terakhir, menurut kajian yang dilansir oleh Lili Retnosari dan Nuri Taufiq, Statistisi BPS.

Di Indonesia, kemiskinan tetap ada bahkan di kalangan yang aktif bekerja. Selama bertahun-tahun, bekerja dianggap sebagai jalan menuju kesejahteraan. Namun, bagi jutaan orang Indonesia, memiliki pekerjaan kini tak lagi identik dengan kehidupan layak.

"Bagi banyak orang Indonesia, pekerjaan hanya cara bertahan hidup, bukan sarana naik kelas. Ini bukan kegagalan individu, melainkan kegagalan sistemik," kata Lili seperti dilansir dari kajian yang dilansir di media pada 22 April lalu.

Analis mencatat, berdasarkan data Maret 2024, sebanyak 39,82% dari penduduk miskin atau sekitar 10,04 juta orang, termasuk pekerja miskin. Angka itu nyaris sama dengan tahun 2015 di mana 40,47% dari penduduk miskin juga sebenarnya punya pekerjaan.

"Dalam satu dekade penuh pertumbuhan dan reformasi, stagnasi ini seharusnya menjadi alarm peringatan," kata Lili dan Nuri.

Pekerja miskin banyak terkonsentrasi di sektor pertanian, yang identik dengan pekerjaan informal dengan produktivitas rendah. "Kekonsistenan kemiskinan di kalangan pekerja terutama di sektor pertanian mengungkap ada defisit pekerjaan layak yang belum ditangani serius oleh pengambil kebijakan," kata analis.

Sorotan itu senada dengan kajian yang pernah dilansir oleh LPEM Universitas Indonesia beberapa waktu lalu. Kemerosotan jumlah kelas menengah di Indonesia telah mengalami penurunan sejak 2018 di kala industri manufaktur di negeri ini makin melemah.

Kelas Menengah Turun Kasta, Kesejahteraan Merosot (Bloomberg Technoz)

Penduduk miskin di Indonesia memang berkurang. Namun, populasi kelas menengah juga semakin turun, melonjakkan jumlah orang 'turun kasta' menjadi kelompok calon kelas menengah dan rentan miskin. 

"Performa sektor manufaktur yang terus menurun kita lihat sebagai pangkal masalah mengapa daya beli masyarakat ikut menurun. Kemampuan industri manufaktur menyerap tenaga kerja turun, produktivitas turun sehingga tingkat upah turun. Hal itu yang membuat kelas menengah yang bekerja di sektor tersebut jadi tidak produktif bahkan sebagian sudah berpindah ke sektor informal," jelas Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Proporsi disposable income terhadap PDB per kapita masyarakat Indonesia trennya terus menurun (Bloomberg Technoz)

Mengacu Survei Kegiatan Dunia Usaha terbaru yang dirilis oleh Bank Indonesia, gelagat kebangkitan sektor manufaktur dan dunia usaha secara umum, makin pupus.

Pada kuartal 1-2025, kegiatan dunia usaha memang masih positif, tetapi melambat signifikan dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) hanya 7,63%, terendah dalam hampir tiga tahun. Bila mengeluarkan periode pandemi, angka itu bahkan jadi yang terendah sejak kuartal IV-2018.

Kelesuan dunia usaha berimbas pada seretnya lapangan kerja. Tingkat rekrutmen pekerja pada periode yang sama hanya tumbuh 0,97%, terendah sejak pandemi.

Perkembangan upah juga stagnan. Pada separuh pertama tahun ini, pertumbuhan upah juga lesu dengan Saldo Bersih pertumbuhan upah cuma 34,91%, terendah sejak 2022 bila dibandingkan semester 1 pada tahun-tahun sebelumnya.

Perlu Keberpihakan

Menurut analis dan ekonom, situasi yang tidak menguntungkan itu masih bisa diperbaiki. Fakta bahwa masih ada puluhan juta pekerja hidup miskin di balik pertumbuhan PDB yang selalu dibanggakan kuat dan stabil itu, mengisyaratkan ada hal yang tidak tepat dalam membayangkan pembangunan.

Pembangunan dinilai melulu hanya dilihat sebatas angka-angka stabilitas makroekonomi ketimbang keadilan tenaga kerja. Juga, lebih fokus pada angka agregat ketimbang distribusi kesejahteraan

Tidak mengherankan ketika tingkat kemiskinan disebut mencapai angka terendah, rasio gini (gini ratio) yang mencerminkan tingkat ketimpangan justru naik pada saat yang sama. BPS mencatat, per September 2024, gini ratio Indonesia naik jadi 0,381, dari posisi 0,379 pada Maret 2024.

Gini ratio sebesar 0,381 itu sama dengan posisi Maret 2020 ketika pandemi pecah dan menjatuhkan perekonomian dalam resesi.

"Pemerintah memiliki peluang mengubah narasi ini. Mengurangi kemiskinan secara bermakna tidak cukup dengan perbaikan statistik. Butuh ekonomi politik baru yang menempatkan pekerja, bukan sekadar investor, sebagai pusat dari pembangunan nasional," kata Lili.

Itu berarti perancangan kebijakan yang mengembalikan hubungan antara kerja dan kesejahteraan. Misalnya melalui memformalkan pekerjaan informal, peningkatan produktivitas sektor perdesaan dan membangun sistem perlindungan sosial universal yang portabel dan mencakup semua pekerja tanpa memandang lokasi, pendidikan atau status pekerjaan.

-- koreksi pada ambang batas kemiskinan versi Bank Dunia berdasarkan PPP 2017.

(rui/aji)

No more pages