Bloomberg Technoz, Jakarta - Kesopanan adalah salah satu ciri khas masyarakat Indonesia, bahkan saat berinteraksi dengan teknologi. Namun, siapa sangka bahwa dua kata sederhana seperti “tolong” dan “terima kasih” ternyata ikut menyumbang beban energi terhadap operasional chatbot berbasis kecerdasan buatan seperti ChatGPT.
Dalam era teknologi yang semakin mendominasi keseharian manusia, kebiasaan berbicara sopan kepada AI menimbulkan diskusi menarik. Salah satunya adalah soal seberapa besar energi dan biaya yang dibutuhkan untuk memproses tambahan kata-kata sopan ini.
Chatbot yang “Disapa” dengan Hormat

Tidak sedikit pengguna ChatGPT yang memperlakukan chatbot ini seperti manusia. Mereka mengetikkan “tolong” saat meminta bantuan, dan “terima kasih” usai menerima jawaban. Interaksi ini memang terasa lebih manusiawi, seolah pengguna sedang berbincang dengan teman atau kolega.
Namun rupanya, tindakan sederhana tersebut membawa konsekuensi tersendiri. Sam Altman, CEO dari OpenAI — perusahaan pengembang ChatGPT — baru-baru ini memberi tanggapan mengejutkan. Ia menyebutkan bahwa ucapan sopan yang terus-menerus dilontarkan pengguna bisa menyebabkan pengeluaran signifikan dari sisi energi dan biaya.
Saat ditanya oleh salah satu pengguna X (dulu Twitter) terkait seberapa besar biaya yang harus ditanggung OpenAI karena pengguna yang sopan, Altman menjawab dengan kalimat yang singkat tapi bermakna, “Puluhan juta dollar terpakai dengan baik. Anda tidak akan pernah tahu.”
Biaya Mikro, Jumlahnya Raksasa
ChatGPT versi GPT-3.5 Turbo memiliki biaya sekitar 0,0015 dolar AS per 1.000 token input dan 0,002 dolar AS untuk 1.000 token output. Token adalah satuan kata, frasa, atau bahkan karakter tertentu yang dibaca oleh AI.
Misalnya, kata “halo” setara dengan 1 token, dan frasa “terima kasih” terdiri dari 2 token. Bila pengguna menambahkan “tolong” dan “terima kasih” dalam prompt, maka jumlah token bisa bertambah sekitar 2–4.
Biaya yang muncul dari tambahan kata-kata ini memang sangat kecil — sekitar 0,0000015 hingga 0,000002 dolar AS per percakapan. Tapi jika dikalikan dengan miliaran prompt harian, maka nilainya menjadi signifikan.
OpenAI diperkirakan mengeluarkan sekitar 400 dolar AS per hari hanya untuk memproses kata sopan. Jika dijumlahkan selama setahun, angkanya mencapai 146.000 dolar AS atau sekitar Rp 2,4 miliar (dengan asumsi 1 dolar AS = Rp 16.859).
Penggunaan energi oleh model AI sangat besar, tidak hanya untuk menjawab prompt, tetapi juga untuk proses pelatihan (training). Pelatihan model memerlukan hardware canggih seperti GPU (Graphics Processing Unit) dan TPU (Tensor Processing Unit).
Perangkat ini mengonsumsi listrik dalam jumlah tinggi dan menghasilkan panas ekstrem, yang kemudian memerlukan sistem pendingin besar. Baik itu pendingin udara maupun cair, semuanya turut menambah konsumsi energi secara keseluruhan.
Sebagai contoh, pelatihan GPT-3 menghabiskan energi sekitar 1.287 MWh, cukup untuk mengaliri 120 rumah tangga AS selama setahun penuh. Namun, GPT-4 jauh lebih masif.
GPT-4: Mesin Super dengan Tagihan Super

Model GPT-4 milik OpenAI jauh lebih canggih dari pendahulunya. Untuk melatihnya, digunakan sekitar 25.000 unit GPU Nvidia A100, yang bekerja terus-menerus selama 90–100 hari. Estimasi biaya pelatihan GPT-4 mencapai 100 juta dolar AS.
Dengan asumsi setiap server terdiri dari 8 GPU, maka dibutuhkan 3.125 server untuk pelatihan. Server Nvidia DGX, yang setara dengan Nvidia HGX, memiliki TDP (Thermal Design Power) sebesar 6,5 kW. Artinya, server tersebut mengonsumsi 6,5 KWh listrik per jam.
Selama 90 hari (2.160 jam) hingga 100 hari (2.400 jam), setiap server mengonsumsi listrik antara 14.040 KWh hingga 15.600 KWh. Jika dikalikan 3.125 server, maka total konsumsi listriknya berkisar antara 43.875.000 hingga 48.750.000 KWh.
Konsumsi Listrik Dilipatgandakan dengan Faktor Efisiensi
Namun, konsumsi listrik tersebut belum termasuk PUE (Power Usage Effectiveness) dari pusat data, yang biasanya berada pada angka rata-rata 1,18. Jika dihitung, maka konsumsi listrik GPT-4 dalam pelatihan mencapai 51.772.500 hingga 57.525.000 KWh.
Angka ini setara dengan penggunaan energi 1.000 rumah tangga di AS selama 5 hingga 6 tahun. Bandingkan dengan GPT-3 yang hanya menggunakan 1.287 MWh, berarti GPT-4 mengonsumsi energi hampir 40 kali lipat lebih besar.
Kembali pada topik utama, meskipun “tolong” dan “terima kasih” hanya menambah sedikit beban token, akumulasi dari miliaran interaksi pengguna membawa efek nyata. Dengan basis pengguna global, dan jutaan prompt setiap harinya, maka beban ini terus menumpuk.
Altman mungkin tidak menyebutkan secara rinci berapa angka pasti biaya dari kesopanan ini, tapi pernyataannya menyiratkan bahwa hal ini bukan beban kecil. Bahkan, bisa jadi lebih dari sekadar “puluhan juta dolar”.
Mungkinkah AI Perlu Mode Hemat Sopan?
Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan konsumsi energi, muncul ide baru: bagaimana jika ChatGPT atau AI lainnya menyediakan mode “hemat sopan”? Dalam mode ini, AI hanya memproses informasi inti, dan mengabaikan basa-basi atau kata-kata sopan demi efisiensi.
Meski terdengar tidak manusiawi, opsi ini bisa menjadi solusi bagi penggunaan AI skala besar, terutama dalam institusi atau layanan publik yang memproses jutaan data.
Namun, langkah ini tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, mengurangi kata sopan bisa mengefisienkan energi dan biaya. Di sisi lain, interaksi manusia dengan AI akan terasa lebih “dingin” dan kurang bersahabat.
Mengapa Listrik AI Jadi Isu Besar?

Penggunaan energi oleh AI kini menjadi isu lingkungan yang cukup besar. Data center yang menopang teknologi ini membutuhkan listrik dalam skala industri. Tidak jarang, mereka bergantung pada energi dari bahan bakar fosil yang berkontribusi pada emisi karbon.
Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan seperti OpenAI, Google, hingga Amazon kini berlomba mengadopsi energi terbarukan. Tujuannya bukan hanya efisiensi biaya, tetapi juga untuk mengurangi jejak karbon dari operasi mereka.
Namun, hingga teknologi benar-benar hijau, semua interaksi digital kita — bahkan yang paling sopan — tetap memiliki dampak lingkungan.
Kesopanan tetaplah nilai luhur yang harus dijaga, bahkan dalam dunia digital. Namun, kita juga perlu memahami bahwa interaksi kita dengan AI tidak selalu bebas biaya.
Kata-kata seperti “tolong” dan “terima kasih” tetap memiliki makna, baik secara budaya maupun teknologi. Hanya saja, di balik kesopanan itu, tersembunyi tagihan listrik dan beban energi yang tak sedikit.
Sebagai pengguna, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan AI. Bukan berarti berhenti sopan, melainkan sadar bahwa setiap kata yang kita ketik, sekecil apapun, punya konsekuensi yang nyata.
(seo)