Dalam intraday trading 9 April lalu sempat menyentuh level terburuknya di Rp16.957/US$, tersengat sentimen perang dagang yang mengguncang pasar.
Bila membandingkannya dengan posisi penutupan akhir tahun lalu, rupiah sudah kehilangan 4,55% year-to-date di kala mayoritas mata uang Asia berhasil mengungguli dolar AS yang pada periode sama tergerus 8%.
Pelemahan rupiah terutama karena terus membesarnya tekanan jual investor asing di pasar portofolio, yang dipicu oleh sentimen domestik maupun eksternal seperti perang dagang.
Data terakhir yang kompilasi Bloomberg Technoz dari otoritas terkait, selama April saja terjadi arus keluar modal asing alias outflows senilai Rp61,06 triliun month-to-date hingga membawa rupiah ambles hampir 2% bulan ini.
Sebelum vonis tarif resiprokal dijatuhkan Presiden Trump pada banyak negara, termasuk Indonesia, rupiah sudah terperosok 2,77% selama kuartal 1-2025.
Hal itu sebagian besar adalah akibat sentimen domestik di antaranya ketidakyakinan pasar akan arah kebijakan fiskal pemerintah, penurunan peringkat saham, sampai spekulasi yang menyertai pembentukan Danantara.
Analisis terbaru dari salah satu bank terbesar di Jepang, MUFG, memperkirakan, rupiah potensial makin melemah menembus Rp17.100/US$ dalam beberapa bulan mendatang, seperti dilansir dari Bloomberg News.
Sedangkan Barclays Plc, bank investasi asal Inggris, memperkirakan rupiah berpeluang menguji level Rp17.200/US$ pada kuartal pertama tahun depan di tengah intervensi bank sentral.
Undervalued
Namun, sebagian analis yang lain menilai, rupiah sudah berada jauh di bawah harga wajarnya (undervalued).
"Kami berpikir rupiah sangat undervalued sehingga pelemahan lebih lanjut akan terbatas dari sini. Bahkan mungkin rupiah akan mulai menguat dengan cepat mengejar ketertinggalan dari mata uang regional," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dalam catatannya.
Secara historis, kata Satria, rupiah adalah mata uang negara berkembang dengan tingkat beta tertinggi. Di periode lalu, rupiah telah menguat 3%-5% dalam hitungan minggu atau bahkan hari, seperti terjadi pada 2020 dan 2024.
"Target kami untuk USD/IDR pada kuartal II-2025 adalah Rp16.300/US$," kata analis.
Dalam paparannya kemarin usai menggelar Rapat Dewan Gubernur, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, mempertahankan stabilitas nilai tukar adalah posisi kebijakan utama BI saat ini.
Tak lain karena besarnya ancaman pelemahan mata uang lebih lanjut akibat terus keluarnya modal asing dari pasar portofolio domestik.
Stance itu diambil bahkan ketika gejala kelesuan ekonomi sebenarnya sudah membutuhkan pelonggaran.
BI akan memperkuat upaya stabilisasi rupiah melalui intervensi di pasar offshore-NDF, juga triple intervention di pasar spot, domestik NDF dan SBN di pasar sekunder.
"Kami sekarang punya kombinasi intervensi lebih lengkap karena nilai tukar tidak hanya di domestik tapi dari luar offshore, standby 24 jam karena market 24 jam di Hong Kong, Eropa, Amerika Serikat. Stabilitas nilai tukar penting, kami melihat rupiah stabil akan berikan confidence investor masuk at least ke portfolio investment," kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti.
Destry mengatakan, arus masuk modal asing mulai kembali ke SBN dan SRBI pada Selasa dan Rabu lalu senilai masing-masing Rp24,04 triliun dan Rp16 triliun.
"Itu mencerminkan bahwa investor asing masih percaya Indonesia menjadi tujuan investasi yang menarik ketika rupiah relatif stabil," tambah Satria.
Jelang penutupan pasar saham, IHSG yang sempat melesat hingga 0,8%, berbalik melemah 0,6% saat ini. Sementara di pasar SBN, harga surat utang cenderung naik ditandai dengan penurunan yield terutama tenor pendek.
Yield SUN 1Y turun 2,9 bps, bersama tenor 5Y yang juga turun 1 bps. Sedangkan tenor 10Y turun 0,8 bps sampai sore ini. Selisih yield dengan US Treasury tercatat di kisaran 258 bps yang merupakan 1 standar deviasi di bawah rerata lima tahun.
-- update penambahan tabel kinerja rupiah dibanding mata uang Asia lain.
(rui/aji)






























