Logo Bloomberg Technoz

Beleid tersebut diterbitkan sebagai bagian dari penyempurnaan regulasi minyak goreng (migor) sebelumnya yang ditetapkan dalam Permendag No. 49/2022.

Dalam aturan itu, produsen minyak goreng yang telah mendistribusikan MGR atau MinyaKita berhak
memperoleh Hak Ekspor (HE) produk turunan kelapa sawit untuk migor atau Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein (RBDPL).

MGR diakui sebagai HE apabila produsen atau distributor memberikan produk ke BUMN Pangan (D1) dan juga pengecer (D2) jika bukan ke D1.

Selain itu, terdapat juga insentif tambahan bagi produsen yang turut mendistribusikan MGR ke wilayah, bentuk kemasan, dan distributor tertentu melalui faktor pengali untuk hak ekspor (HE).

Perinciannya, produsen yang mendistribusikan MGR dalam bentuk kemasan bantal akan memperoleh faktor pengali 2 sedangkan untuk kemasan selain bantal sebesar 2,25.

Untuk regional, Faktor pengali untuk wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Lampung, Riau, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara adalah 1.

Wilayah Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo adalah 1,3. Sementara itu, wilayah Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Utara adalah 1,5.

Lalu, faktor pengali wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya adalah 1,65. 

Sementara itu, produsen yang mendistribusikan MinyaKita ke BUMN Pangan atau D1 akan mendapat insentif HE tambahan dengan faktor pengali sebesar 1,2.

"[Skema DMO dari pemerintah masih] sesuai dengan Permendag 18/2024," tegas Iqbal.

Sebelumnya, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengusulkan pemerintah untuk mengganti program MinyaKita menjadi skema bantuan langsung tunai (BLT), bersamaan dengan polemik minyak goreng murah gagasan pemerintah belakangan ini.

 Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, program yang digagas Kementerian Perdagangan (Kemendag) era Zulkifli Hasan pada Juli 2022 lalu tersebut hingga saat ini tidak berjalan efektif dan juga menimbulkan distorsi pasar.

Dengan kata lain, hal tersebut, kata dia, sangat bertentangan dengan prinsip persaingan usaha atau kompetisi pasar yang sehat. Sejak diluncurkan saat itu hingga kini MinyaKita semakin mendominasi pasar.

"Model minyak goreng begini apa kita tetap pertahankan? Sudah mau empat tahun, waktu itu 2022, 2023, 2024, dan sekarang 2025. Ini sudah menyalahkan regulasi. [...] Jadi sudah tidak ada kompetisi," ujarnya, belum lama ini.

"Pembagiannya itu jangan berupa produk [seperti MinyaKita], lebih baik BLT, jadi Bantuan Langsung Tunai," imbuhnya menegaskan.

Sahat juga turut menyinggung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menekankan pentingnya kompetisi pasar. Ini juga sejalan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Meski tujuan peluncuran MinyaKita untuk melakukan stabilisasi harga dan operasi di pasar, namun nyatanya harga minyak goreng dalam negeri kerap masih tinggi. Apalagi, kata Sahat, Indonesia juga merupakan negara produsen minyak sawit terbesar dunia.

"Ini sebuah ironi. Kita produsen terbesar, kenapa harga minyak goreng kita tinggi? Jadi kalau saya berpendapat, pemerintah yang harus membuat regulasi, bahwa produk minyak untuk domestik harusnya dibedakan dengan minyak untuk ekspor,” kata Sahat.

(ain)

No more pages