Logo Bloomberg Technoz

Secara teknikal, rupiah masih berpotensi melemah usai kemarin gagal break resistance potensial, mengindikasikan tren bearish bertahan. Level Rp16.450/US$ menjadi support pertama, disusul support kedua di  Rp16.500/US$.

Apabila dua support itu tertembus, rupiah bisa melemah lebih jauh menyentuh Rp16.540/US$ sebagai support terkuat.

Menariknya, apabila nilai rupiah terjadi penguatan hari ini, resistance patut dicermati pada level Rp16.400/US$ dan Rp16.350/US$ secara potensial bagi rupiah dalam time frame daily, dengan target kenaikan menuju area ke MA-50.

Analisis Teknikal Nilai Rupiah Jumat 14 Maret 2025 (Riset Bloomberg Technoz)

Sentimen risk-off menguat

Lanskap pasar global sebenarnya menyalakan lagi sentimen risk-off yang akan membebani aset-aset di pasar emerging, termasuk Indonesia. Bursa saham AS rontok hingga melewati batas psikologis penting akibat peningkatan eskalasi perang dagang yang dikobarkan Presiden AS Donald Trump. 

Trump kini mengancam penerapan tarif impor hingga 200% pada produk anggur, sampanye dan minuman beralkohol dari Eropa. Trump juga menegaskan, tidak akan mencabut tarif atas baja dan aluminium yang baru saja diberlakukan pekan ini, serta tetap berniat memberlakukan tarif timbal balik yang lebih luas terhadap mitra dagang global mulai 2 April.

Tekanan Trump itu memicu arus keluar dari aset berisiko, seperti saham, mata uang digital dan mungkin juga dari aset-aset di emerging market yang memiliki risiko lebih besar. Itu sejatinya menjadi ancaman bagi saham, surat utang juga valuta di luar AS, termasuk Indonesia.

Pemodal global memburu dolar AS lagi serta surat utang pemerintah AS, US Treasury, sebagai aset aman. Yield UST turun di semua tenor di mana 2Y turun 2,4 basis poin di 3,96% dan 10Y turun ke 4,27%.

Penurunan yield UST memperlebar selisih imbal hasil dengan Surat Utang Negara (SUN) menjadi 264 basis poin dan mungkin menaikkan daya tarik obligasi RI di mata pemodal global.

Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam permodelan resesi berbasis pergerakan Treasury yang dikembangkan oleh bank sentral AS, Federal Reserve, ada indikasi risiko resesi dalam setahun ke depan sejak tahun lalu. Kemungkinan prediksi itu akan terbukti benar bila ketidakpastian perdagangan terus menekan aktivitas ekonomi.

Menurut analis Bloomberg Intelligence Gina Martin Adams dan Michael Casper, permodelan tersebut secara historis selalu akurat dalam memprediksi resesi jika probabilitasnya melampaui 30% dalam satu tahun ke depan. Saat ini, probabilitas tersebut berada di 29,76%.

“Pasar obligasi AS tengah memberikan sinyal resesi, yang memperkuat sentimen risk-off di pasar saham,” ujar analis. “Namun, pada saat yang sama, pasar kredit tetap relatif stabil, memberikan indikasi ketenangan.”

Defisit fiskal

Namun, pelebaran selisih surat utang itu mungkin tak serta merta memantik arus masuk modal asing makin besar ke dalam negeri.

Laporan kinerja fiskal terakhir yang dilansir kemarin memperlihatkan, perekonomian RI menderita kelesuan yang terindikasi dari anjloknya penerimaan pajak baik pajak pertambahan nilai maupun pajak badan usaha.

Anjloknya penerimaan pajak menyeret penurunan penerimaan negara di tengah belanja yang sebenarnya juga lebih rendah. Situasi itu telah melahirkan kondisi defisit fiskal yang jarang terjadi di awal tahun. Belum lagi fakta bahwa Pemerintah RI sudah banyak menarik utang baru hanya dalam 2 bulan pertama tahun ini.

Faktor-faktor itu memberi peringatan bagi para investor, terutama pemodal yang menyukai aset pendapatan tetap meski sepanjang tahun ini asing masih mencetak net buy di pasar Surat Berharga Negara. Adapun di pasar saham, asing terus melancarkan tekanan jual dengan nilai net sell kemarin mencapai Rp896,86 miliar.

(rui)

No more pages