Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) melaporkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual kepada masyarakat menjadi jauh lebih tinggi ketika kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor, imbas praktik melawan hukum yang dilakukan subholding PT Pertamina (Persero).

Hal ini terungkap usai Kejagung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Pertamina, subholding, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) selama periode 2018—2023.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menjelaskan dalam pengadaan minyak impor oleh PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakatan jahat antara penyelenggara negara (tersangka SDS, AP, RS, dan YF) bersama broker (tersangka MK, DW, dan GRJ).

Sebelum tender pengadaan minyak dilaksanakan, terang Harli, pihak-pihak tersebut melakukan kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.

SPBU Pertamina./Bloomberg-Dimas Ardian

“Permufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi [spot] yang tidak memenuhi persyaratan,” jelas Harli melalui keterangannya, dikutip Selasa (25/2/2025).

Harli mengungkapkan hal itu dilakukan dengan modus tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

Adapun, tersangka DM dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari tersangka RS untuk impor produk kilang.

Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS membeli produk RON 92 atau Pertamax dengan cara mengoplos dengan membeli RON 90 atau Pertalite, kemudian dilakukan pencampuran atau blending di depo untuk dijadikan produk RON 92 Pertamax. 

“Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13%—15% secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” jelas Harli. 

Dugaan praktik kongkalikong pengadaan minyak ini pada akhirnya mengakibatkan komponen harga bahan baku minyak mentah yang menjadi jauh lebih tinggi dari semestinya, yang berimbas pada tingginya harga BBM Pertamina yang dijual ke masyarakat.

“Maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP [harga indeks pasar] BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau tinggi,” kata Harli. 

Celakanya, praktik ini dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Akibatnya, negara ditaksir merugi hingga Rp193,7 triliun.

Kejagung memaparkan pembelian minyak impor tersebut, jika dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri, terdapat perbedaan komponen harga yang lebih tinggi.

Harga impor minyak dalam pasar spot berfluktuasi berdasarkan dinamika permintaan dan penawaran. Tolok ukur utama harga yang digunakan adalah Indonesia Crude Price (ICP); West Texas Intermediate (WTI); dan Mean of Plats Singapore (MOPS).

Sementara itu, harga pasar minyak mentah dalam negeri yang berfluktuasi berdasarkan dinamika permintaan dan penawaran mengacu pada harga indeks ICP.

Harli menjelaskan seharusnya pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan dari dalam negeri. Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor domestik sebelum merencanakan impor minyak bumi.

Mandatori ini termaktub di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.

Dalam kasus tersebut, Kejagung resmi menetapkan tujuh tersangka, empat di antaranya dari jajaran subholding PT Pertamina (Peresero).

Mereka a.l. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional,Sani Dinar Saifuddin (SDS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).

Sementara itu, tiga broker yang menjadi tersangka a.l. Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR); Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW); dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).

Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa M. Kerry Andrianto Riza ditetapkan sebagai salah satu tersangka korupsi subholding Pertamina./dok. Kejagung

Kongkalikong Kilang

Berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan perskongkolan dalam rapat optimasi hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan kesiapan produksi kilang. Walhasil, produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya sehingga pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang justru didatangkan dari impor.

Dalam dugaan korupsi tersebut, kata Harli, produksi kilang Pertamina disebut sengaja diturunkan. Pertamina kemudian sengaja menolak minyak mentah dari KKKS domestik dengan dalih produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih dalam rentan harga perkiraan sendiri (HPS).

Harli menyebut produk minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan kualitas kilang. Akan tetapi, fakta yang ditemukan, minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang, dapat diolah, dan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

“Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah [bagian negara] dilakukan penjualan keluar negeri [ekspor],” kata Harili.

Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional malah melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. 

Kejagung memaparkan pembelian minyak impor tersebut memiliki harga yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri.

(mfd/wdh)

No more pages