Logo Bloomberg Technoz

Menurut perhitungan IESR, kebutuhan investasi transisi energi hingga 2060 mencapai antara US$30—US$50 per tahun atau sekitar Rp500 triliun hingga Rp800 triliun per tahun. 

Kebutuhan investasi transisi energi di Indonesia. (Sumber: Bloomberg)

Jika pemerintah dapat melihat peluang investasi tersebut, kata Fabby, dampaknya terhadap perekonomian akan sangat luar biasa.

“Seharusnya pemerintah, [Menteri ESDM] Pak Bahlil [Lahadalia], [Utusan Khusus Persiden Bidang Energi dan Iklim] Pak Hashim [Djojohadikusumo], bahkan Menteri Keuangan [Sri Mulyani Indrawati] sekalipun harus melihat transisi energi itu adalah sebuah opportunity, bukan sebagai sebuah biaya. Saya menangkap pernyataan [pemerintah] itu seakan-akan kalau transisi energi itu beban, sehingga dia mendikotomikan bahwa, 'Oh iya kita pakai saja batu bara dahulu',” terangnya.

Investor Ragu

Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang mengisyaratkan bakal mengikuti langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk fokus pada energi fosil juga dinilainya dapat membawa ketidakpastian terhadap iklim investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT) bagi Indonesia.

“Persoalannya bukan soal pakai batu bara dahulu, tetapi kita kehilangan kesempatan investasi. Tadinya orang mau investasi di Indonesia karena kita punya portfolio EBT, tetapi karena pernyataannya Pak Bahlil seakan-akan ragu,” ujarnya.

Fabby menggarisbawahi salah satu hal yang membuat tingkat ketidakpastian tinggi bagi investor adalah risiko politik. Jika pejabat yang berwenang di RI sendiri sanksi terhadap transisi energi bahkan tidak menunjukkan dukungannya, investor akan enggan berinvestasi.

“Karena nanti bisa saja rencana dan strategi pemerintah berubah gitu ketika mereka mulai masuk ke Indonesia. Nah, ini yang harus dipahami dan harusnya sebagai mantan Menteri Investasi, Pak Menteri ESDM [Bahlil] itu paham ketidakpastian itu adalah musuh investasi paling besar,” jelas Fabby.

“Pernyataan-pernyataan sebagaimana yang beliau ungkapkan sebelumnya, itu bisa membuat investor kabur.”

Dalam kaitan itu, Fabby berpendapat arah kebijakan Bahlil semakin jauh dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk menggapai swasembada energi.

Sedikit saja ada ketidakselarasan di tataran kebijakan teknis dengan misi Presiden, target transisi dan swasembada energi yang diidamkan Prabowo hampir bisa dipastikan bakal gagal tergapai.

“Ini sama saja dengan menegasikan tujuan Presiden, menurut saya ini yang agak bahaya. Presiden ingin kemandirian pangan dan energi. Kemandirian energi itu ya kita tahu kalau dari hasil kajian, salah satunya adalah memanfaatkan energi terbarukan,” imbuhnya.

Bahlil di Mandiri Investment Forum 2025 (YouTube Bank Mandiri)

Pekan lalu, Bahlil tidak menampik kembalinya Presiden AS Donald Trump ke Gedung Putih mengubah peta dunia terhadap desain energi. Wacana-wacana global terkait dengan transisi dan energi hijau bubar di tengah jalan setelah Trump menarik AS dari Paris Agreement, segera setelah dilantik.

Sejalan dengan hal itu, batu bara sebagai sumber utama bauran energi primer Indonesia mulai kembali mendapatkan perpanjangan napas, setelah sempat dikejar-kejar tuntutan pemadaman pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari pihak-pihak pro-transisi energi.

“Kita pikir batu bara sudah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah,” kata Bahlil di sela Mandiri Investment Forum, Selasa (11/2/2025)

“Tadinya dalam RUPTL 2025—2034, saya tidak lagi menyusun [pembangkit] batu bara, tidak lebih dari 7%; itu pun yang sudah berkontrak. Akan tetapi, dengan keluarnya AS dari komitmen Paris Agreement, ya Amerika saja keluar kok, [padahal] dia yang membuat; apalagi Indonesia cuma ikut-ikutan. So?”

Bahlil meyakinkan bahwa baseline kelistrikan Indonesia berbeda dengan negara-negara maju, yang selama ini getol menyerukan transisi energi. Negara maju memiliki modal dan teknologi yang lebih mumpuni untuk mengembangkan EBT.

“Negara kita belum coy, masih butuh penyesuaian. Nah kalau ada barang ada yang lebih murah, kenapa harus cari yang mahal? Saya pakai logika akal sehat aja,” tuturnya.

Bagaimanapun, Bahlil menegaskan Indonesia akan tetap mendorong EBT sebagai bagian terpenting dari sebuah implementasi konsensus Net Zero Emission pada 2060. Akan tetapi, dia menolak jika upaya transisi energi dan pengembangan EBT di Indonesia diintervensi sesuai target yang diinginkan negara maju.

“Kita orang Indonesia, jangan ajarkan kami komitmen, karena hutan-hutan kami ini masih banyak sekali. Kami itu penyuplai CO2 itu 3 ton per kapita. Kalau yang lain sudah ada yang lebih dari 10, 20, 30 ton per kapita karena hutannya sudah ditebang duluan, habis duluan,” ujar Bahlil.

“Pada saat mereka [negara maju] tebang hutannya, tidak ada yang protes mereka. Begitu sudah selesai, mereka mulai intercept negara-negara berkembang agar tidak boleh menebang hutannya. Oke, kami jaga hutan kami, tetapi kalian yang hutannya sudah habis ini bayar karbon kami juga dengan baik dong. Jangan mau bayar kami murah, kalian mau mahal. Begitu kita tanya kenapa harga kami lebih murah, kalian lebih mahal, katanya investasinya di sana lebih mahal di sana. Ya kalau gitu kita selesaikan dahulu hutan kita, kan kira-kira begitu logikanya.”

(mfd/wdh)

No more pages