Namun, nilai surplus yang lebih besar itu adalah karena laju impor yang terkontraksi ketika kinerja ekspor pada Januari juga lebih kecil dibanding perkiraan pasar.
Di sisi lain, capaian kinerja impor pada Januari juga memperkuat indikasi terjadinya tekanan konsumsi domestik, yang diduga mulai menjalar pada kinerja produksi manufaktur yang melemah seperti ditunjukkan dari perlambatan belanja barang perantara.

Sebagai gambaran, laju impor terkontraksi dengan pertumbuhan negatif 2,67%, setelah bulan sebelumnya membukukan kenaikan 11,06%.
Kinerja impor itu juga di luar dugaan pasar yang memperkirakan akan ada pertumbuhan 9,94% dengan asumsi para pelaku usaha mulai menumpuk persediaan mengantisipasi kenaikan permintaan jelang kedatangan Ramadan dan Idulfitri.
Pada saat yang sama, ekspor RI pada Januari hanya tumbuh 4,68%, turun dibanding Desember yang tumbuh 4,78%. Kinerja ekspor juga di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan akan ada pertumbuhan hingga 7,40%.
"Bank Indonesia memandang surplus neraca perdagangan ini positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas lain guna meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan," kata Ramdan Deny Prakoso, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, mengomentari kinerja dagang pada Januari.
Konsumsi Lesu
Laju impor yang terkontraksi pada Januari, tak terduga oleh pasar yang memperkirakan masih ada pertumbuhan cukup tinggi hampir 10%.
Bila diamati lebih dalam, tercatat bahwa penyebab kontraksi impor adalah dua hal.
Yaitu aktivitas konsumsi domestik yang lebih lemah dibanding tahun sebelumnya. Pada Januari 2025, impor barang konsumsi Indonesia terkontraksi hingga 7,16%. Itu adalah kontraksi terdalam impor barang konsumsi sejak Agustus 2024 lalu.
Hal lain adalahperlambatan aktivitas pembelian untuk produksi manufaktur yang terlihat dari kontraksi impor barang perantara [intermediary goods] sebesar 3,15% year-on-year setelah bulan lalu masih tumbuh positif 8,84%.
Bukan cuma itu. Impor barang modal juga anjlok meski masih positif, yaitu hanya tumbuh 1,75% setelah pada Desember melompat 19,59%.
Kinerja positif impor barang modal meski angkanya susut, kemungkinan karena kuatnya pertumbuhan ekspor manufaktur pada saat yang sama, yakni tumbuh 14,02% bulan lalu dibandingkan Januari 2024 yang terkontraksi 4,03%.
"Fakta itu menunjukkan bahwa produsen dalam negeri masih yakin dengan kuatnya permintaan eksternal [ekspor] sehingga melakukan investasi berkelanjutan pada kapasitas produksi," kata Lionel Priyadi dan Muhammad Haikal dari Mega Capital Indonesia.
Ekspor Komoditas Susut
Di sisi lain, kendati ekspor manufaktur Indonesia masih tumbuh kuat, pada Januari terjadi penyusutan ekspor komoditas.
BPS melaporkan, ekspor komoditas RI pada bulan lalu susut terkontraksi 6,78% menjadi US$ 7,06 miliar. Kontraksi itu tak lain karena penurunan harga komoditas di awal tahun di mana harga acuan batubara di Newcastle pada bulan Januari terpangkas 9,03%.
Bukan cuma itu, harga nikel juga turun pada Januari sebesar 4,52%. Penurunan dua komoditas ekspor itu tak mampu diimbangi oleh lonjakan kenaikan komoditas minyak sawit mentah (CPO) yang pada saat yang sama naik 20,09%.

Alhasil bila tren penurunan harga komoditas itu berlanjut, ada potensi nilai surplus dagang RI pada Februari ini akan menyusut. Asumsi itu juga berdasarkan pada perkiraan akan ada front-loading impor barang konsumsi jelang kedatangan puncak permintaan pada Ramadan dan Idulfitri pada Maret.
"Kami perkirakan surplus dagang pada Februari akan menyusut dengan dua faktor tersebut. Impor front-loading kami perkirakan bisa meningkatkan total impor sebesar US$ 1 miliar hingga US$ 2 miliar, sementara pelemahan harga komoditas bisa mengurangi ekspor setidaknya sebesar US$ 500 juta," kata Lionel.
Nilai surplus dagang pada Februari dengan demikian diprediksi bisa susut tinggal sebesar US$ 1 miliar sampai US$ 2 miliar.
Bunga Acuan Dipangkas Lagi?
Hari ini, Bank Indonesia memulai gelar RDG selama dua hari dan memutuskan kebijakan bunga acuan pada esok Rabu.
Konsensus pasar yang telah dihimpun oleh Bloomberg dari 33 institusi sampai pagi ini, menghasilkan median 5,75%. Itu berarti, mayoritas ekonom dan pelaku pasar memperkirakan BI akan menahan bunga acuan di level saat ini yakni 5,75%.
Namun, konsensus itu tidak bulat. Sebanyak 11 dari 33 institusi yang disurvei memperkirakan BI akan memangkas bunga acuan lagi sebesar 25 basis poin pada Rabu nanti.
Prediksi itu salah satunya didasari oleh sinyal yang dilempar oleh Bank Indonesia dalam lelang Sekuritas Rupiah (SRBI) yang terus turun bunganya dalam beberapa lelang belakangan. Nilai outstanding SRBI di pasar saat ini juga terus menyusut seiring langkah BI menjual instrumen operasi moneter itu lebih sedikit, mengindikasikan BI akan mempercepat penurunan bunga acuan.
Lebih-lebih rupiah membukukan penguatan 0,65% sejak BI rate tak terduga dipangkas bulan lalu, kendati masih terjebak di kisaran Rp16.200-an per dolar AS saat ini.
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur BI Perry Warjiyo telah menekankan perubahan stance kebijakan moneter dari tadinya cenderung fokus pada stabilisasi nilai tukar, kini menjadi lebih pro pertumbuhan.
Dengan kinerja konsumsi domestik yang memang masih lesu, dukungan dari pelonggaran moneter menjadi hal yang diharapkan dari Pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto yang berambisi mengerek pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
(rui/aji)