Kasus bermula dari penunjukan langsung BP Migas terhadap PT TPPI pada Oktober 2008 terkait dengan penjualan kondensat dalam kurun 2009 sampai 2010. Perjanjian kontrak kerja sama kedua lembaga tersebut dilakukan pada Maret 2009.
Penunjukan langsung ini menyalahi Peraturan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondesat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjualan Minyak Mentah Bagian Negara.
Menurut Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Raden Priyono dan Djoko Harsono didakwa secara bersama-sama merugikan keuangan negara sebesar US$2,716 miliar.
Raden dan Djoko bersama Honggo telah melawan hukum dengan melakukan penunjukan langsung PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tanpa melalui lelang terbatas dan tanpa penilaian atau evaluasi syarat umum.
Perbuatan melawan hukum lainnya, yakni menyerahkan kondensat bagian negara kepada PT TPPI tanpa diikat kontrak dan tanpa jaminan pembayaran.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 100 Ayat Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 tersebut.
Menurut jaksa, tindakan itu mengakibatkan Honggo tidak mengolah kondensat bagian negara itu di kilang TPPI menjadi produk Mogas 88, kerosene, dan solar yang dibutuhkan Pertamina.
Pihak Honggo malah mengolahnya menjadi produk-produk olahan kondensat yang tidak dibutuhkan Pertamina. Dengan demikian, semua produk olahannya tidak dijual ke Pertamina, melainkan ke pihak lain.
Kasus SKK Migas
Tidak hanya itu, kasus penyalahgunaan minyak mentah dan kondensat juga pernah melibatkan Mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai Rudi terbukti menerima suap terkait dengan pelaksanaan proyek di lingkungan SKK Migas.
Dalam salah satu dakwaannya, Rudi menerima uang dari bos Kernel Oil Singapura Widodo Ratanachaitong dan PT Kernel Oil Private Limited (KOPL) Indonesia sebesar US$900.000 dan SGD200.000.
Menurut hakim, uang yang diterima Rudi terbukti berkaitan dengan pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan kondensat bagian negara di SKK Migas.
Sekadar catatan, tata kelola MMKBN termaktub di dalam Surat Keputusan SKK Migas No. PTK-065/SKKMA0000/2017/S0 tentang Penunjukan Penjual dan Penjualan Minyak Mentah dan/atau Kondensat Bagian Negara.
PTK tersebut telah mengubah Pertamina sebagai penjual MMKBN dialihkan kepada SKK Migas.
Hal ini termaktub dalam referensi hukum PTK tersebut pada poin 4.5 disebutkan bahwa Surat Keputusan Kepala SKK Migas NomorKEP-0131/SKKO0000/2015/S2 tentang Penunjukan PT Pertamina (Persero) sebagai Penjual Seluruh Minyak Mentah dan/atau Kondensat bagian Negara tanggal 13 Agustus 2015.
Kemudian, poin 4.6 mengenai Perjanjian Penunjukan Penjual Seluruh Minyak Mentah dan/atau Kondensat bagian Negara antara SKK Migas dan PT Pertamina (Persero) tertanggal 18 September 2015.
Awal pekan ini, Kejagung mengumumkan posisi kasus terkait dengan dugaan Pertamina telah melakukan perbuatan melanggar hukum untuk mengakali impor minyak mentah atau crude.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan bahwa pengusutan kasus ini bermula pada 2018 ketika diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
Aturan tersebut mewajibkan Pertamina mengutamakan penyerapan minyak mentah hasil produksi dalam negeri untuk kemudian diolah di kilang perusahaan sebelum bisa melakukan impor. Di sisi lain, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) swasta juga diwajibkan menawarkan bagian minyak mentahnya kepada Pertamina sebelum melakukan ekspor.
Namun, dalam perjalanannya, Kejagung menduga adanya upaya untuk menghindari kesepakatan antara KKKS swasta dan Pertamina dalam proses jual beli tersebut.
”Dalam pelaksanaannya, KKKS swasta dan Pertamina, dalam hal ini ISJ dan/atau PT KPI [Kilang Pertamina Indonesia], berusaha untuk menghindari kesepakatan pada waktu penawaran yang dilakukan dengan berbagai cara. Jadi, mulai di situ nanti ada unsur perbuatan melawan hukumnya, ya,” ujar Harli dalam konferensi pers, Senin (10/2/2025) malam.
Kejagung menilai tindakan menghindari kesepakatan jual beli dalam kasus tersebut telah merugikan negara. Pasalnya, MMKBN yang seharusnya bisa diolah di Kilang Pertamina malah harus tergantikan dengan minyak mentah hasil impor.
"Perbuatan menjual MMKBN tersebut mengakibatkan minyak mentah yang dapat diolah di kilang harus digantikan dengan minyak mentah impor yang merupakan kebiasaan PT Pertamina yang tidak dapat lepas dari impor minyak mentah," jelas Harli.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 impor minyak mentah Indonesia mencapai 16,93 juta ton; 2019 sebanyak 11,75 juta ton; 2020 sejumlah 10,51 juta ton; 2021 sebesar 13,77 juta ton; 2022 sebanyak 15,26 juta ton; dan 2023 sejumlah 17,83 juta ton.
(mfd/wdh)

































