Bahkan terindikasi, konsumen paling berduit yakni mereka dengan pengeluaran di atas Rp5 juta, memangkas tabungan ketika alokasi cicilan utang meningkat, hingga berdampak pada penurunan belanja barang nonmakanan.
Prospek penjualan ritel juga dibayangi oleh kenaikan ekspektasi inflasi. Walau kenaikan harga menjadi 'pemandangan biasa' jelang Ramadan dan Idul Fitri, harga barang yang makin mahal bisa mendorong konsumen semakin selektif membelanjakan pendapatan dan fokus pada kebutuhan pokok.
Hasil Survei Penjualan Ritel yang dipublikasikan hari ini mencatat, penjualan eceran pada Januari diperkirakan terkontraksi cukup dalam, yakni -4,8% month-to-month (mtm), setelah pada Desember tumbuh 5,9% mtm.
Seluruh kelompok komoditas tercatat berada di fase kontraksi pada Januari, kecuali kelompok barang budaya dan rekreasi yang tumbuh 0,1% mtm. Sementara kelompok peralatan informasi dan komunikasi, serta sandang, mencatat kontraksi terdalam hingga -7,4% mtm pada bulan lalu.
Secara tahunan, penjualan ritel pada Januari diperkirakan hanya tumbuh 0,4% year-on-year (yoy), melambat dibandingkan Desember yang tumbuh 1,8% yoy. Perlambatan itu tak lain terutama karena penjualan yang lebih lesu
Penjualan komoditas di beberapa sektor diperkirakan makin melambat lajunya secara tahunan, mulai dari suku cadang dan aksesori, makanan minuman, bahan bakar kendaraan (BBM), juga kelompok sandang. Bahkan kelompok perlengkapan rumah tangga dan barang lain diperkirakan terkontraksi makin dalam pada awal tahun.
Efek musiman yang mendongkrak penjualan ritel pada Desember sudah menguap dan akan berlanjut sampai dua bulan pertama tahun ini. Indeks Ekspektasi Penjualan pada Februari turun ke level 127,7. Adapun pada Maret, ketika belanja masyarakat meningkat karena perayaan Idul Fitri, penjualan ritel diperkirakan melesat dengan Indeks Ekspektasi Penjualan naik ke 154,4.
Inflasi Kikis Daya Beli
Di tengah penjualan yang masih melempem pada awal tahun akibat tidak adanya momentum pengungkit belanja masyarakat, ekspektasi inflasi sudah mulai merangkak bahkan ketika Ramadan masih belum datang.
Indeks Ekspektasi Harga tercatat naik berturut-turut dalam empat bulan beruntun atau sejak Desember hingga Maret. Baru pada April dan Mei tekanan harga diperkirakan melandai, sebelum akhirnya kembali naik pada Juni nanti.
Tekanan inflasi yang tidak berjeda itu akan semakin menekan daya beli masyarakat. Padahal, sejauh ini, daya beli sudah terseok-seok.
Mengacu data Survei Konsumen terbaru, terindikasi bahwa konsumen mengurangi pengeluaran mereka untuk konsumsi dan memangkas alokasi tabungan. Penurunan rasio konsumsi dan rasio tabungan itu kemungkinan karena peningkatan pengeluaran untuk membayar cicilan utang.
Pada Januari, rasio utang (debt to income ratio) masyarakat Indonesia naik jadi 11,1%, itu menjadi yang tertinggi sejak Februari 2021 atau dalam empat tahun terakhir.
Melihat kelas konsumen, terlihat bahwa yang mengalami tekanan konsumsi terbesar adalah konsumen dengan pengeluaran menengah yakni Rp3,1 juta-Rp5 juta, juga kelompok konsumen terbawah dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta.
Adapun kelompok konsumen terbanyak mengurangi alokasi tabungan adalah konsumen kelas atas dengan pengeluaran di atas Rp5 juta.
Sementara kenaikan rasio utang terjadi merata di semua kelompok pengeluaran, dengan lonjakan terbesar pada konsumen dengan belanja menengah yakni antara Rp3,1 juta-Rp4 juta.
Dengan kondisi keuangan yang cenderung tertekan, konsumen diperkirakan akan makin selektif berbelanja di tengah kenaikan kebutuhan pada musim perayaan yang telah didahului oleh lonjakan harga barang.
Indeks Pembelian Barang Tahan Lama, yang menjadi salah satu indikator daya beli karena mengukur pembelian barang nonmakanan/pokok, tercatat turun di hampir semua kelas konsumen.
Penurunan indeks terbesar dicatat oleh kelompok dengan pengeluaran di atas Rp5 juta. Ini mungkin mencerminkan, kelompok konsumen paling berduit terdesak untuk terdesak lebih selektif berbelanja ketika rasio tabungan mereka makin turun sementara pada saat yang sama rasio utang naik.
(rui/aji)






























