Logo Bloomberg Technoz

Persetujuan ESDM

Jatah minyak mentah milik negara yang dihasilkan oleh KKKS tersebut, lanjut Moshe, bisa dijual pemerintah untuk tambahan pendapatan. Dalam hal ini, Pertamina berperan membantu pemerintah untuk menjual MMKBN tersebut.  

Namun, untuk menjual minyak mentah jatah negara tersebut, kata Moshe, Pertamina membutuhkan persetujuan Kementerian ESDM.

“Ada prosedurnya, itu harus disetujui menteri dijual ke mana dan berapa. Kan itu minyak bagian pemerintah, jadi pemerintah harus setuju. Itu ranahnya di Ditjen Migas Kementerian ESDM, tetapi harus ada persetujuan Menteri [ESDM].”

Dalam kaitan itu, Moshe menggarisbawahi, tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada 2018—2023 yang sedang disoal oleh Kejagung tersebut juga sudah pasti mendapatkan persetujuan menteri yang menjabat saat itu.

Moshe juga mencermati pernyataan Kejagung yang menyebut KKKS swasta dan Pertamina—dalam hal ini ISJ dan/atau PT Kilang Pertamina Indonesia (KPI) — berusaha menghindari kesepakatan jual-beli MMKBN dengan berbagai cara, sehingga merugikan negara.

Menurut Moshe, hal itu bisa saja terjadi jika kilang Pertamina mengalami kondisi penurunan produksi di tengah permintaan yang lesu.

“Bayangkan, buat apa mereka menyimpan sesuatu [MMKBN], tetapi tidak dipakai. Itu kan butuh uang, apalagi jumlahnya besar. Kalau memang produksinya lagi turun, ya mau tidak mau kalau ada bagian yang bisa dia jual, ya saya juga berpikir, Pertamina ngapain simpan [minyak mentah] yang bisa dijual. Gitu kan,” terangnya.

“Itu juga bergantung dari kondisi pasar minyak mentah saat itu. Siapa tahu harga lagi bagus, pas produksi lagi rendah. Dia [Pertamina] bisa jual dengan harga tinggi, kan untung jadinya. Itu semua faktor-faktor yang juga harus diperhatikan oleh Kejagung. Jadi tidak semata-mata itu sebagai sesuatu yang salah.”

Mekanisme Kompleks

Moshe menekankan bahwa tata kelola dan rantai pasok di industri migas berbeda dengan industri pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Untuk itu, dia menyarankan agar Kejagung didampingi oleh tim ahli industri migas dalam mengusut kasus ini.

“Harus ada tim ahli yang buka ahli menindak, tetapi ahli migas yang benar-benar paham dari A sampai Z soal tata kelola dan supply chain-nya seperti apa, spek minyak mentah dan kilangnya, dan sebagainya. Harus ada tim ahli itu,” tegas Moshe.

Penyidik Kejagung membawa sejumlah barang usai penggeledahan di kantor Ditjen Migas ESDM, Senin (10/2/2025). (Bloomberg Technoz/Mis Fransiska)

Usai menggeledah kantor Ditjen Migas nyaris seharian pada Senin (10/2025), Kejagung mengumumkan posisi kasus terkait dengan dugaan Pertamina telah melakukan perbuatan melanggar hukum untuk mengakali impor minyak mentah.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan bahwa pengusutan kasus ini bermula pada 2018 ketika diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Aturan tersebut mewajibkan Pertamina mengutamakan penyerapan minyak mentah hasil produksi dalam negeri untuk kemudian diolah di kilang perusahaan sebelum bisa melakukan impor. Di sisi lain, KKKS swasta juga diwajibkan menawarkan bagian minyak mentahnya kepada Pertamina sebelum melakukan ekspor.

Namun, dalam perjalanannya, Kejagung menduga adanya upaya untuk menghindari kesepakatan antara KKKS swasta dan Pertamina dalam proses jual beli tersebut.

”Dalam pelaksanaannya, KKKS swasta dan Pertamina, dalam hal ini ISJ dan/atau PT KPI, berusaha untuk menghindari kesepakatan pada waktu penawaran yang dilakukan dengan berbagai cara. Jadi, mulai di situ nanti ada unsur perbuatan melawan hukumnya, ya,” ujar Harli dalam konferensi pers, Senin (10/2/2025) malam.

Kejagung menilai tindakan menghindari kesepakatan jual beli dalam kasus tersebut telah merugikan negara. Penyebabnya, MMKBN yang seharusnya bisa diolah di Kilang Pertamina malah harus tergantikan dengan minyak mentah hasil impor.

"Perbuatan menjual MMKBN tersebut mengakibatkan minyak mentah yang dapat diolah di kilang harus digantikan dengan minyak mentah impor yang merupakan kebiasaan PT Pertamina yang tidak dapat lepas dari impor minyak mentah," jelas Harli.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume impor minyak mentah Indonesia relatif fluktuatif pada rentang 2018—2023, tetapi cenderung terus mengalami kenaikan setelah periode pandemi pada 2020.

Pada 2018 jumlahnya mencapai 16,93 juta ton; 2019 sebanyak 11,75 juta ton; 2020 sejumlah 10,51 juta ton; 2021 sebesar 13,77 juta ton; 2022 sebanyak 15,26 juta ton; dan 2023 sejumlah 17,83 juta ton.

(wdh)

No more pages