Menurut data tersebut, produksi dan pesanan baru turun ke level terendah dalam lima bulan terakhir. Pesanan ekspor baru turun ke level terendah sejak Februari, yang menunjukkan lemahnya permintaan global.
Tarif Amerika Serikat (AS) yang tinggi bisa merugikan ekspor China, yang menyumbang hampir sepertiga dari pertumbuhan tahun lalu, dan menambah biaya bagi produsen yang menghadapi tekanan harga akibat persaingan yang ketat dan sentimen konsumen yang lesu.
Presiden AS Donald Trump saat ini masih mempertimbangkan untuk mengenakan tarif sebesar 10% pada semua impor dari China, meski begitu rencananya masih belum dapat diprediksi.
China memenuhi target pertumbuhan resmi sebesar 5% tahun lalu, berkat kebijakan kilat dan lonjakan ekspor. Namun, pemulihan ekonominya tidak merata, di mana manufaktur terkadang menjadi titik terang, sedangkan konsumsi terbebani oleh pasar tenaga kerja yang lemah dan krisis real estat yang berkepanjangan.
Surplus perdagangan China melonjak mendekati US$1 triliun yang belum pernah terjadi sebelumnya tahun lalu. Ketidakseimbangan ini terus berkembang hingga membuat para mitra dagang khawatir. Di antara mereka, Uni Eropa menuduh Beijing membangun kapasitas berlebih di industrinya melalui subsidi negara dan memasang hambatan perdagangan baru yang menghambat penjualan kendaraan listrik.
(bbn)