Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan hingga saat ini Indonesia tidak kunjung memiliki bursa berjangka nikel, kendati merupakan penghasil nikel terbesar di dunia yang menyumbang 63% dari total produksi global bijih.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey menyebut pemerintah hingga saat ini masih menimbang ihwal keuntungan bagi negara serta pengusaha ketika Indonesia memiliki bursa berjangka nikelnya sendiri.
Untuk itu, APNI gencar berkoordinasi dengan kementerian terkait seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Investasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Perindustrian.
“[Hal] yang harus dilihat, sisi benefit negara, untung negara, baru untuk pengusaha apa. Itu dahulu kan yang harus diperhatikan, kalau enggak ada benefit, baik untuk negara maupun pengusaha ya ngapain buang-buang waktu, buang-buang anggaran saja,” kata Meidy saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (22/1/2025).
Meidy menyebut langkah APNI yang mengingkan Indonesia memiliki bursa berjangka nikel sendiri memang tidak mulus dan perlu waktu.
Toh, lanjutnya, bursa berjangka pada akhirnya akan bermanfaat bagi negara karena transaksi dan pendapatan dari nikel dapat dikontrol dengan lebih baik. Dia pun optimistis tahun ini Indonesia akan memiliki bursa berjangka nikel.
“Kita itu jangan cuma fokus kerja, menambang, tetapi kita tidak tahu demand-nya gimana; baik di lokal maupun di luar. Efeknya kan lain kalau kita tidak mengerti yang di luar kondisi seperti apa. Terus, kalau harga makin parah, nanti kalau smelter tidak jalan, terus kita [bakal] menambang memangnya?" jelas Meidy.
Disalip Singapura
Di sisi lain, APNI juga berkomentar terkait dengan Singapura yang tidak memiliki komoditas nikel, tetapi malah memiliki bursa berjangka nikel sulfat lebih dahulu daripada RI. Meidy pun menyayangkan langkah pemerintah yang terkesan lambat dalam mengembangkan bursa berjangka nikel di tanah air.
“Baru melek kali, baru engeh [pemerintah]. Mungkin gini, pemerintah melihat loh, tiba-tiba Singapura kok launching? Enggak punya barang, enggak punya apa-apa. Dia mau selangkah lagi dari kita, ini negara [Singapura] enggak punya mineralnya, cuma perusahaan-perusahaan yang menempatkan usahanya transaksi di sana. Itu kan negara trading kalau kita bilang kan enggak punya apa-apa,” ujar Meidy.
Sebelum Indonesia akan memiliki bursa berjangka nikel, Singapura baru saja meluncurkan kontrak berjangka nikel sulfat oleh Abaxx Exchange baru-baru ini. Hal ini untuk memenuhi permintaan bahan baku baterai yang terus meningkat dan mengatasi perbedaan harga antara jenis logam tersebut.
Nikel sulfat digunakan untuk membuat baterai kendaraan listrik, sedangkan nikel olahan yang dapat dikirim berdasarkan kontrak LME terutama digunakan untuk pembuatan baja.
Industri telah menyerukan sistem penetapan harga baru yang dapat berfungsi sebagai alternatif LME sejak short squeeze besar-besaran di bursa pada awal 2022.
"Kontrak nikel sulfat memenuhi permintaan yang terus meningkat akan tolok ukur harga yang andal di pasar yang berubah dengan cepat," kata Abaxx Technologies Inc, yang memiliki mayoritas saham di bursa tersebut, dalam sebuah pernyataan pekan lalu.
"Pasar nikel sulfat berkembang pesat, dan pelaku pasar membutuhkan alat yang mencerminkan realitas perdagangan fisik," kata Nancy Seah, kepala eksekutif Abaxx Exchange. Kontrak tersebut berdenominasi dolar AS dan dapat dikirim secara fisik di Singapura.
(mfd/wdh)