Logo Bloomberg Technoz

Indeks dolar AS yang kemarin menguat, kini sedikit landai di 106,36. Sementara tekanan masih terlihat di pasar Treasury, surat utang AS, di mana semua tenor mencatat kenaikan yield pagi ini.

Di pasar domestik, bursa saham dibuka melemah 0,11%. Namun, IHSG selanjutnya langsung berbalik menguat hingga 0,44% ke level 7.486.

Di pasar surat utang, semua tenor menunjukkan kenaikan imbal hasil, mengindikasikan ada tekanan jual yang menekan harga obligasi negara.

Yield surat utang negara tenor 2Y kini sudah di 6,91%, sedangkan tenor 5Y ada di 6,89%. Adapun tenor 10Y saat ini di 6,93%. 

Tenor panjang 20Y ada di 7,07% ketika tenor 15Y lebih tinggi di 7,09%.

Penyempitan selisih imbal hasil antara tenor 2Y dan 10Y menunjukkan para investor makin khawatir dengan prospek perekonomian ke depan. Peluang penurunan BI rate dinilai pupus sehingga ada potensi tekanan perlambatan ekonomi RI berlanjut tahun depan.

Inflasi AS

Nanti malam, AS akan merilis data inflasi CPI yang menjadi data terakhir terpenting sebelum The Fed menggelar pertemuan pekan depan untuk menentukan bunga acuan.

Konsensus pasar yang dihimpun oleh Bloomberg sampai pagi ini menghasilkan median 0,3% untuk inflasi CPI November secara bulanan. Bila terealisasi, maka terjadi kenaikan karena pada bulan sebelumnya inflasi CPI tercatat 0,2%.

Secara tahunan, inflasi CPI Amerika diperkirakan naik juga 2,7% pada November, dibanding bulan sebelumnya sebesar 2,6%.

Adapun inflasi inti CPI diperkirakan sebesar 0,3% secara bulanan dan 3,3% secara tahunan, tidak berbeda dengan bulan sebelumnya.

"Data inflasi November dapat membuat para pelaku pasar terus menebak-nebak tentang arah pemangkasan bunga acuan pekan depan. Prakiraan Bloomberg Economics mendukung ekspektasi pembacaan inflasi inti yang tidak stabil, sementara ada isyarat penurunan pada inflasi headline. Yang lebih mengkhawatirkan bagi para pembuat kebijakan, inflasi tampaknya akan berada di atas target tahun depan dengan beberapa permodelan menunjukkan ada rebound permintaan," kata Scott Johnshon, ekonom Bloomberg Economics dalam analisisnya.

(rui)

TAG

No more pages

Artikel Terkait