Bloomberg Technoz, Jakarta – Konsumsi bahan bakar solar atau diesel di Indonesia diproyeksikan menurun 3,7% pada 2025; di tengah upaya pemerintah untuk memacu dekarbonisasi di sektor industri transportasi, pertambangan, hingga pembangkit listrik.
BMI—lengan riset dari Fitch Solutions, bagian dari Fitch Group — menyebut konsusmi solar di Indonesia masih ditopang oleh sektor transportasi, dengan pertumbuhan permintaan rata-rata 5,3% per tahun antara 2015—2023.
Hal itu sejalan dengan peningkatan kepemilikan kendaraan dan perluasan armada oleh perusahaan-perusahaan transportasi pada periode tersebut. Kontribusi sektor transportasi terhadap pasar solar di Tanah Air pun meningkat dari 74% pada 2015 menjadi 88% per akhir 2023.
Namun, pertumbuhan permintaan solar khusus untuk sektor transportasi jalan raya terus melambat menjadi 4,5% pada 2023, dibandingkan dengan 10,2% pada 2022, dan 10,4% pada 2021.

“Target dekarbonisasi untuk peralihan bahan bakar di sektor transportasi jalan raya sangat ambisius di Indonesia dan akan menghasilkan pengurangan besar dalam konsumsi bahan bakar diesel,” papar tim peneliti BMI dalam laporan yang dilansir, Rabu (4/12/2024).
Kondisi tersebut berbanding lurus dengan mulai maraknya alat transportasi jalan raya yang beralih menggunakan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), meski adopsi EV di industri ini masih dalam tahap awal.
Selain itu, lanjut BMI, peningkatan efisiensi energi dan adopsi teknologi yang lebih bersih di berbagai sektor industri berpotensi meredam pertumbuhan permintaan solar.
“Pertumbuhan permintaan solar Indonesia diproyeksikan melambat menjadi 3,9% pada 2024 dan turun lebih jauh menjadi 3,7% pada 2025,” kata lembaga tersebut.
Menurut catatan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), realisasi konsumsi solar di Indonesia pada 2022 mencapai 17,61 juta kiloliter (kl), sebelum menurun menjadi 17,57 juta kl pada 2023.
Pada 2024, permintaan solar diperkirakan mencapai 17,68 juta kl dari kuota Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebanyak 19 juta kl. Namun, sampai dengan Juli, realisasinya baru 9,99 juta kl.
Sementara itu, dalam APBN 2025, kuota solar disiapkan sebanyak 18,89 juta kl, berkurang dari pagu tahun ini.

Sektor Industri
Di sisi lain, sektor industri—termasuk pertambangan, manufaktur, dan konstruksi — juga menyumbang porsi besar konsumsi solar, dengan sektor pertambangan menjadi konsumen utama karena prosesnya yang membutuhkan banyak energi.
Namun, penggunaan solar di sektor industri menunjukkan penurunan tahunan sebesar 6,6% antara 2015 dan 2023, dengan total permintaan turun menjadi 46.000 barel per hari pada 2023; terutama dipicu oleh meningkatnya penggunaan gas alam di sektor manufaktur.
“Kami memproyeksikan penggunaan solar di sektor industri akan makin melemah dalam jangka pendek dan menengah karena substitusi bahan bakar oleh gas alam [harga gas bumi tertentu/HGBT]. Sektor industri hampir sepenuhnya beralih dari penggunaan solar konvensional ke biodiesel, yang sekarang mencakup 92% dari total solar yang dikonsumsi di sektor industri,” papar BMI.
Di sisi lain, penggunaan solar untuk pembangkit listrik—meskipun porsinya kecil — secara signifikan masih banyak digunakan, terutama di daerah terpencil yang bergantung pada generator solar untuk listrik.
Akan tetapi, BMI menilai prospek jangka panjang untuk permintaan solar dari sektor pembangkit listrik menghadapi tekanan ke bawah karena pemerintah saat ini sedang melaksanakan konversi pembangkit listrik berbahan bakar solar ke gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).
Terlebih, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN telah menunjuk 52 pembangkit listrik berbahan bakar solar untuk dikonversi menjadi pembangkit listrik berbahan bakar gas melalui program dedieselisasi.
(wdh)