Logo Bloomberg Technoz

"Terlepas dari urusan politik, saya melihat keberadaan satgas ini akan merusak ekosistem pertambangan nasional. Pemerintah terkesan semena-mena dalam memberikan wewenang ke lembaga tertentu,” tegasnya.

Tambang batu bara di Kalimantan. (Dimas Ardian/Bloomberg)


Nama Bahlil Lahadalia belakangan tengah menjadi sorotan publik lantaran dia disebut-sebut melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi izin usaha pertambangan (IUP) serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah. 

Menurut laporan Tempo, Bahlil diduga meminta sejumlah imbalan uang hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. Dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya.

Sekadar catatan, pembentukan satgas tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.

Pasal 1 beleid menyebut soal pembentukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi oleh Presiden Joko Widodo, dalam rangka “penataan penggunaan lahan secara berkeadilan, penataan perizinan berusaha untuk sektor pertambangan, perkebunan dan pemanfaatan hutan, serta dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam.”

Cikal bakal satgas tersebut adalah Keputusan Presiden No. 11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. Dalam keppres tersebut tertulis bahwa satgas yang dimaksud diketuai oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, dengan wakil ketua Wakil I Jaksa Agung, Wakil Ketua II Wakil Kepala Polri, serta Sekretaris Sdri. Dini Purwono. 

Bahlil pun memiliki kewenangan untuk mencabut IUP bagi perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kriteria. Perihal izin usaha pertambangan, padahal, biasanya menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Sepanjang 2022, menurut catatan Bloomberg Technoz, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral  dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara.

Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Musabab pencabutan IUP tersebut  dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.

Suasana aktivitas tambang nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Senin (10/7/2023). (Dimas Ardian/Bloomberg)

Menyalahi UU Minerba

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto pernah menyebut bahwa Parlemen mendapat keluhan dari pengusaha tambang terkait dengan dugaan pencabutan IUP oleh Kementerian Investasi/BKPM yang menyalahi kewenangan dalam Undang-undang No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

"Pencabutan IUP tanpa melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan berdampak pada tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investasi sektor pertambangan yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan negara juga berpotensi kehilangan penerimaan di sektor pertambanga,” ujarnya, dikutip dari laman resmi DPR.

Dia pun menegaskan pencabutan usaha pertambangan harus dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme atau proses yang sesuai dengan ketentuan Pasal 119  UU Minerba.  

Beleid itu menyatakan izin dapat dicabut oleh menteri, dengan ketentuan di  antaranya apabila pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.

Selain itu bisa juga karena pemegang IUP atau IUPK itu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau juga pemegang IUP dan IUPK dinyatakan pailit. 

"Sedangkan proses pencabutan suatu IUP berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 96/2001 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba diawali dengan penerapan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan," jelas Sugeng.

Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia saat Konferensi Pers Kinerja Investasi Tahun 2023. (Tangkapan Layar Youtube BKPM)

Afiliasi ke Perusahaan Nikel

Terlepas dari rumor tersebut, mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) periode 2015—2019 itu dikabarkan memang sudah lama memiliki bisnis pertambangan —seperti di sektor nikel — melalui PT Meta Mineral Pradana.

Menurut pantauan data di Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), nama Bahlil memang benar pernah tercatat di perusahaan tersebut.

Minerba One Data Indonesia (MODI) yang dikelola Ditjen Minerba mendata PT Meta Mineral Pradana dengan kode perusahaan 5012 yang berkantor di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat.

Pemilik/pemegang saham perusahaan tersebut adalah PT Rifa Capital dan PT Bersama Papua Unggul, dengan porsi kepemilikan saham masing-masing 10% dan 90%. Kedua perusahaan tersebut diketahui merupakan milik Bahlil.

Di jajaran kepengurusan, nama Bahlil pernah tercatat sebagai komisaris pada susunan direksi awal perusahaan. Sayangnya, data Ditjen Minerba tidak menjelaskan dengan lengkap periode Bahlil menjabat sebagai komisaris.

Namun, terdapat perubahan direksi perusahaan ke-1, di mana IR Made Suryadana merupakan komisaris pada 30 November 2022 hingga 30 November 2027. Sementara, jabatan direktur perusahaan tetap dipegang oleh Tresse Kainama.

Adapun, kedua IUP milik PT Meta Mineral Pradana berlaku untuk tahapan kegiatan operasi produksi komoditas nikel. IUP Operasi Produksi (IUPOP) dengan luasan 470 hektare berlaku mulai 14 Juli 2010 hingga 14 Juli 2030. Sementara itu, IUPOP dengan luasan 165,5 hektare berlaku mulai 20 September 2010 hingga 20 September 2030.

Hingga berita ini diturunkan, Bahlil belum merespons permintaan tanggapan dan konfirmasi dari Bloomberg Technoz.

Namun, sebelumnya, Bahlil melalui Staf Khusus Menteri Investasi/Kepala BKPM Tina Talisa mengadukan Tempo ke Dewan Pers atas laporan dugaan penyalahgunaan wewenang terhadap izin tambang itu.

“Pak Menteri Bahlil keberatan karena sebagian informasi yang disampaikan ke publik mengarah kepada tudingan dan fitnah, juga sarat dengan informasi yang tidak terverifikasi. Kami meyakini ada unsur pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, di antaranya terkait kewajiban wartawan untuk selalu menguji informasi dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,” ujar Tina dalam siaran pers tersebut.

(wdh)

No more pages