Logo Bloomberg Technoz


Pengaruh Nikel ke Batu Bara

Khusus untuk Indonesia, meski sedang berusaha melakukan transisi energi dan mengurangi penggunaan batu bara – yang ditegaskan oleh paket senilai US$20 miliar dalam paket Just Energy Transition Partnership (JETP) – negara ini juga tercatat masih membangun beberapa fasilitas pembangkit listrik tenaga batu bara baru untuk keperluan industri hilir nikel.

Pembangkit batu bara ini terutama ditujukan untuk melistriki smelter nikel, kobalt, dan aluminium; menyumbang 13 GW dari total 18 GW pembangkit di Indonesia yang sedang dibangun.

“Ekspansi ini mencerminkan strategi Indonesia untuk mengubah negara ini menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik dan baterai terkemuka, di mana nikel memainkan peran kuncinya,” tulis IEA.

Lonjakan permintaan nikel diperkirakan memperkuat produksi NPI pada tahun-tahun mendatang, dan karena itu kami memperkirakan permintaan batu bara Indonesia sebesar 284 Mt pada 2026.

International Energy Agency (IEA)

Untuk diketahui, nikel – unsur kelima yang paling umum di bumi – kini dianggap sebagai mineral penting. Logam ini digunakan dalam berbagai aplikasi karena karakteristik kimianya yang khusus, termasuk titik lelehnya yang tinggi dan ketahanannya terhadap korosi.

Sekitar 70% produksi nikel primer digunakan dalam produksi baja, diikuti oleh produksi baterai dengan porsi sekitar 11%, yang diperkirakan meningkat pada tahun-tahun mendatang seiring dengan melonjaknya permintaan baterai untuk kendaraan listrik.

Berdasarkan kemurniannya, nikel dapat dikategorikan ke dalam Kelas 1 – dengan kandungan nikel lebih tinggi dari 99,8% – yang digunakan dalam pembuatan baterai, dan Kelas 2 – dengan kandungan nikel lebih rendah dari 99,8% – yang sebagian besar digunakan sebagai bahan baku paduan logam dalam produksi baja.

Daftar produsen nikel. (Sumber: Bloomberg)

Indonesia adalah penambang nikel terbesar di dunia, menambang sekitar setengah dari total penambangan nikel global, dan telah menjadi produsen utama nikel Kelas 2. Namun, RIi juga memperluas kapasitas Kelas 1 seiring dengan meningkatnya permintaan dari produsen baterai global.

Secara umum, ada dua proses produksi nikel utama yang diterapkan di Indonesia: proses tanur listrik tanur putar (RKEF) dan proses pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL).

Dalam proses RKEF yang lebih intensif energi, bijih nikel yang dihancurkan terlebih dahulu diproses dengan reduktor dalam tanur putar sebelum tungku listrik meleburnya menjadi feronikel (FeNi) atau nickel pig iron (NPI), yang keduanya merupakan nikel Kelas 2.

FeNi dan NPI dapat digunakan dalam produksi baja atau diubah menjadi nickel matte, yang kemudian dapat diolah menjadi nikel Kelas 1 untuk baterai.

Di Indonesia, batu bara digunakan langsung dalam proses tersebut dan sering kali digunakan di pabrik penangkaran yang didedikasikan untuk peleburan, untuk menghasilkan listrik yang dibutuhkan dalam proses ini.

Mayoritas PLTU batu bara di Indonesia berusia masih muda./dok. Bloomberg

Pada proses HPAL, bijih nikel dicampur dengan asam dan uap dalam autoklaf. Setelah ini, pelindian dicuci dengan dekantasi berlawanan arah sebelum endapan hidroksida campuran (MHP) diperoleh melalui penambahan magnesium oksida, atau endapan sulfida campuran (MSP) diperoleh melalui penambahan hidrogen sulfida.

MHP dan MSP akhirnya bisa diolah menjadi nikel Kelas 1 untuk baterai.

Dalam hal ini, batu bara digunakan secara tidak langsung untuk pembangkit listrik – seringkali di pembangkit listrik – dalam proses ini.

Dengan meningkatnya permintaan kendaraan listrik dan baterai, permintaan nikel pun meningkat. Demikian halnya dengan investasi kapasitas produksi nikel di Indonesia, yang dipimpin oleh perusahaan China yang aktif dalam rantai pasokan industri kendaraan listrik.

Investasi yang signifikan sedang dilakukan pada kedua proses tersebut. Misalnya, produsen nikel China, Lygend, yang akan menambah kapasitas produksi setara logam nikel lebih dari 0,4 Mtpa pada 2024, menurut Argus Media.

Rencana tersebut mencakup enam proyek HPAL dengan total 0,12 Mtpa dan 20 proyek RKEF dengan total 0,28 Mtpa.

“Terutama didorong oleh pembangunan di sektor ketenagalistrikan dan produksi nikel yang meningkat pesat, kami memperkirakan konsumsi batu bara Indonesia akan meningkat sebesar 23 Mt pada 2023 menjadi 228 Mt,” papar tim periset IEA.

“Lonjakan permintaan nikel diperkirakan memperkuat produksi NPI pada tahun-tahun mendatang, dan karena itu kami memperkirakan permintaan batu bara Indonesia sebesar 284 Mt pada 2026.”

(wdh)

No more pages