Logo Bloomberg Technoz

Special Research

Kala Pemerintah, BI, dan Perbankan Berebut Duit Investor

Ruisa Khoiriyah
03 November 2023 11:20

Ilustrasi Rupiah. (Brent Lewin/Bloomberg)
Ilustrasi Rupiah. (Brent Lewin/Bloomberg)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Fenomena perebutan likuiditas di pasar keuangan antara Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan dan perbankan domestik, bisa berdampak buruk bagi perekonomian RI di masa mendatang.

Pertumbuhan ekonomi bisa semakin seret karena fenomena crowding out memicu kenaikan bunga semakin tinggi dan pada akhirnya membuat laju pertumbuhan kredit terhambat.

Fenomena perebutan likuiditas di perekonomian di antara tiga pihak itu terlihat semakin gamblang semenjak rilis instrumen baru oleh BI, yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pertengahan September lalu. Dalam gelar lelang terakhir 1 November lalu, BI hanya berhasil menjual Rp4 triliun, semakin menurun bila dibandingkan nilai emisi lelang-lelang sebelumnya yang di atas Rp10 triliun bahkan sempat menyentuh Rp24 triliun pada lelang perdana.

Animo investor terhadap SRBI tetap lesu meskipun BI memberikan tawaran imbal hasil (yield) yang tinggi di mana untuk SRBI tenor 12 bulan memiliki bunga diskonto 7,02%. Tingkat bunga itu membuat kurva imbal hasil de facto di Indonesia menjadi sangat datar karena sudah sangat dekat dengan yield Surat Utang Negara (SUN/INDOGB) tenor 10 tahun yang saat ini di kisaran 7,07%.

"Fenomena ini merupakan fenomena 'crowding-out' karena BI, Kementerian Keuangan, dan perbankan bersaing mendapatkan likuiditas," kata Satria Sambijantoro dan Drewya Cinantyan, ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang diterima, Jumat (3/11/2023).

Nilai penawaran masuk dalam lelang surat utang RI sepanjang 2023 ini hanya ada di kisaran Rp20-30 triliun. Jauh menurun bila dibandingkan rata-rata incoming bids dalam lelang SBN tahun lalu yang mencapai Rp44 triliun, apalagi bila dibanding 2021 yang rata-rata mencapai Rp71,4 triliun, berdasarkan catatan Bahana.

Sementara itu, rasio pinjaman terhadap simpanan perbankan alias loan to deposit (LDR) bank yang menjadi ukuran kondisi likuiditas di bank saat ini terpantau meningkat jadi 85%, dari posisi 79,5% pada awal 2023.

Lebih lanjut analis memperingatkan, bunga SRBI yang terus tinggi di tengah periode di mana kebijakan bunga acuan sudah tinggi bisa mempengaruhi fleksibilitas kebijakan Bank Indonesia dalam jangka panjang. Penerbitan SRBI, menurut perhitungan Bahana, bisa meningkatkan beban bunga di neraca bank sentral hingga Rp4,6 triliun pada 2024 nanti. 

Sedikit kilas balik, di era kepemimpinan Gubernur BI Darmin Nasution dan Gubernur BI Agus Martowardojo, instrumen jangka pendek seperti SRBI pernah diterbitkan dengan nama Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, instrumen moneter itu akhirnya dihapuskan karena membebani neraca bank sentral akibat bunga yang tinggi.

Pertumbuhan Kredit Lambat

Sepanjang 2023 ini, tingkat imbal hasil SUN juga terus melesat dan kini berjarak 133 bps dari posisi akhir 2022. Sampai pagi ini tingkat imbal hasil surat utang RI masih di kisaran 7,07%. Level itu berjarak 239 bps dengan tingkat imbal hasil surat utang AS.

Kenaikan imbal hasil surat utang mempengaruhi biaya dana yang dibutuhkan perekonomian untuk terus berputar. Biaya dana korporasi menjadi lebih mahal di tengah bunga kredit bank yang juga masih tinggi, terlebih dengan berbaliknya BI menaikkan bunga acuan. 

Berdasarkan laporan BI, bunga kredit perbankan pada September juga terpantau naik di kisaran 9,36%, naik tipis dibanding bulan sebelumnya di 9,34%. Bunga simpanan juga terpantau naik untuk simpanan berjangka di hampir semua tenor di kisaran 4,32-5,45%.

Suku bunga kredit yang masih tinggi menjadi salah satu faktor masih tertahannya permintaan pembiayaan korporasi ke bank. Penyaluran kredit perbankan pada September lalu tercatat sebesar 8,7%, lebih rendah dibanding pertumbuhan pada Agustus yang sebesar 8,9%.

Penyaluran kredit baik ke perorangan maupun korporasi tercatat menurun dibanding bulan sebelumnya. Berdasarkan jenis penggunaan, kredit modal kerja ke sektor pertanian, peternakan dan kehutanan dan perikanan tercatat turun drastis dari 15% pada Agustus menjadi 8,1% pada September.

Sementara kredit konsumsi juga melemah dengan pertumbuhan 8,4% pada September, turun dari Agustus sebesar 9,1%. Perlambatan pertumbuhan terutama karena penurunan penyaluran kredit pemilikan rumah, kredit kendaraan bermotor dan kredit multiguna.

Hasil Stress Test Aman

Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang digelar Jumat pagi ini, para pengambil kebijakan memastikan sektor keuangan RI masih kuat dan tangguh menghadapi berbagai risiko perekonomian, terutama dari eksternal.

"Stress test KSSK melihat beberapa perkembangan kondisi terakhir dan sejumlah indikator dimasukkan. Perlambatan ekonomi global, kenaikan Fed Funds Rate dan yield obligasi, situasi geopolitik, harga minyak, sampai fenomena El Nino," kata Perry Wajiyo, Gubernur BI dalam jumpa pers KSSK periode kuartal III-2023, Jumat (3/11/2023).

Dengan memasukkan berbagai indikator tersebut, lanjut Perry, disimpulkan bahwa sektor keuangan Indonesia memiliki ketahanan yang cukup kuat. Sektor keuangan domestik memiliki penyangga atau buffer yang memadai.

"Rasio kecukupan modal perbankan di atas 25%, likuiditas juga lebih dari cukup dengan rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga sekitar 26%. BI juga masih memiliki insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) sekitar Rp 20 triliun, dari Rp 50 triliun baru dipakai Rp 30 triliun. Lalu ada insentif penurunan rasio KLM, likuiditas bisa bertambah Rp 81 triliun," terang Perry.

Rasio kredit bermasalah juga rendah. Per akhir September, NPL net adalah 0,77% dan gross 2,43%

"Cadangan Kerugian Penurunan Nilai di di perbankan juga cukup. Kesimpulannya, sektor keuangan Indonesia memiliki ketahanan kuat," tegas Perry.