Dampak Kasus Tom Lembong bagi Kepastian Ekonomi
Referensi
02 August 2025 08:28

Bloomberg Technoz, Jakarta - Pemerintah resmi memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, dalam perkara hukum yang terkait kebijakan impor gula saat dirinya menjabat di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Pemberian abolisi ini menutup salah satu bab kontroversial yang selama bertahun-tahun disebut sebagai bentuk kriminalisasi kebijakan publik. Namun bagi para ekonom, kasus ini menjadi alarm keras tentang rapuhnya kepastian hukum di Indonesia dan dampaknya terhadap dunia usaha dan investasi.
Salah satu kritik tajam datang dari ekonom senior dan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa kasus Tom Lembong adalah ilustrasi gamblang bagaimana hukum bisa menjadi alat politik untuk membungkam pihak yang berseberangan. “Kasus Tom Lembong menunjukkan indikasi kuat intervensi kekuasaan terhadap hukum, warisan dari era pemerintahan sebelumnya,” tulis Didik.
Izin Impor Gula Berujung Jerat Hukum
Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada periode 2015–2016. Salah satu kebijakannya kala itu adalah menerbitkan izin impor gula dalam rangka menjaga kestabilan pasokan dan harga pangan nasional. Kebijakan tersebut sempat dipertanyakan oleh sejumlah pihak dan belakangan menjadi dasar pelaporan hukum.
Namun, banyak kalangan menilai tudingan itu tidak berdasar karena kebijakan impor merupakan ranah kewenangan menteri dan dilakukan melalui mekanisme resmi lintas kementerian. Setelah pemerintahan berganti, proses hukum terhadap Lembong dianggap sarat kepentingan politik dan akhirnya diakhiri melalui abolisi oleh pemerintah baru.
Hukum Buruk, Investasi Merosot
Prof. Didik menyoroti bahwa praktik kriminalisasi terhadap pembuat kebijakan seperti Lembong akan menciptakan ketakutan dan ketidakpastian di kalangan pejabat publik maupun pelaku usaha. “Jika sistem hukum tidak bisa menjamin kontrak, menyelesaikan sengketa secara adil, dan bebas dari intervensi politik, maka investor akan memilih pergi,” ujarnya.
Biaya transaksi menjadi tinggi, efisiensi ekonomi rusak, dan proses hukum yang berbelit-belit membuat iklim bisnis semakin tidak menarik. “Ini yang menyebabkan negara bisa jatuh ke dalam jebakan sebagai negara predatoris—di mana hukum digunakan untuk melindungi elite kekuasaan dan bukan keadilan,” tegas Didik.
Demokrasi dan Anasir Politik
Lebih jauh, Didik mengingatkan bahwa prinsip dasar hukum, yaitu “lebih baik membebaskan orang yang salah daripada menghukum orang yang benar,” kini kerap diabaikan dalam sistem peradilan Indonesia. Dalam kasus Lembong, ia melihat bagaimana politik menjadi anasir jahat yang merusak semangat demokrasi. “Jika mereka lawan politik, kesalahan akan dicari-cari,” katanya.
Abolisi yang Melegakan, Tapi Belum Cukup
Keputusan memberikan abolisi kepada Tom Lembong disambut baik oleh kalangan profesional dan masyarakat sipil. Namun, banyak yang menilai langkah ini belum cukup. Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem hukum dan proses penegakan keadilan agar tidak lagi dijadikan alat politik.
“Ini bukan sekadar pengampunan terhadap individu. Ini peringatan bahwa hukum di Indonesia butuh reformasi serius,” tutup Didik.
(seo)
















