Pemerintah Didorong Ambil Alih Whoosh untuk Ringankan BUMN

Bloomberg Technoz, Jakarta - Pemerintah didorong untuk mengambil alih pengelolaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. Langkah ini dianggap penting untuk meringankan beban Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini menanggung biaya konstruksi dan operasional besar.
Pengambilalihan oleh pemerintah dipandang sebagai solusi struktural atas persoalan pendanaan proyek yang sejak awal dibebankan kepada BUMN. Dengan keterlibatan negara secara langsung, risiko keuangan dapat lebih terkendali dan struktur pendanaan menjadi lebih sehat. Operasional kereta cepat pun diharapkan berjalan lebih efisien tanpa menekan kinerja keuangan BUMN. Saat ini, Whoosh dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Pengamat BUMN sekaligus Managing Director Lembaga Manajemen FEB UI, Toto Pranoto, menilai langkah pemerintah mengambil alih beban KCIC tepat dan rasional. Skema ini menempatkan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI hanya sebagai operator layanan kereta, sementara tanggung jawab pembangunan dan kepemilikan prasarana berada di tangan negara.
Skema Infrastruktur Lebih Sehat
“Saya kira sudah benar kalau akhirnya pemerintah mengambil alih beban infrastruktur dari KCIC. Jadi KAI bertindak sebagai operator kereta api. Ini sudah sesuai Undang-Undang Kereta Api Nomor 23 Tahun 2007,” ujar Toto saat dihubungi.
Dengan pengaturan ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dimanfaatkan sebagai penyertaan modal negara kepada BUMN atau lembaga baru yang ditunjuk sebagai penyelenggara infrastruktur kereta cepat. Kehadiran entitas ini memungkinkan pembiayaan infrastruktur dilakukan lebih terstruktur dan berkelanjutan tanpa membebani operator maupun BUMN lain yang selama ini tertekan oleh biaya konstruksi.
Dalam jangka panjang, lembaga penyelenggara infrastruktur memiliki sumber pendapatan jelas dari tariff access charge yang dibebankan kepada operator kereta api yang menggunakan prasarana. “Jadi uang APBN bisa dipakai sebagai modal BUMN atau lembaga baru yang ditunjuk sebagai penyelenggara infrastruktur kereta api. Dalam jangka panjang, entitas ini bisa memperoleh pendapatan dari tariff access charge yang dibebankan kepada operator,” jelas Toto.
Menurut Toto, skema seperti ini lazim diterapkan pada perkeretaapian modern. Pola ini menciptakan kepastian pendapatan bagi pengelola infrastruktur sekaligus menjaga kelayakan bisnis operator. Dengan cara ini, sebagian biaya pembangunan prasarana Whoosh yang sebelumnya menjadi tanggungan kontraktor karya berpeluang mulai dibayar secara bertahap. “Dengan pola ini, sebagian biaya infrastruktur pembangunan prasarana Whoosh yang ditanggung oleh kontraktor karya kemungkinan mulai bisa dibayar,” tambahnya.
Posisi PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA menjadi paling rumit dan rentan di antara BUMN yang terlibat proyek kereta cepat. WIKA memegang dua peran, yakni investor di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan kontraktor lokal tunggal dalam Konsorsium Kereta Cepat atau High Speed Railway Contractor Consortium (HSRCC) bersama enam kontraktor China.
Sebagai investor, WIKA menanam modal sekitar Rp 6,1 triliun. Nilai investasi ini kini menjadi kerugian yang membebani laporan keuangan perseroan. Kerugian operasional yang terus terjadi sejak dua tahun terakhir tercermin dalam laporan keuangan WIKA setiap triwulan dan akhir tahun.
Tekanan keuangan WIKA semakin berat memasuki 2025 karena pemangkasan anggaran infrastruktur pemerintah yang menurunkan volume proyek dan pendapatan. Kondisi diperparah kenaikan beban bunga utang yang jatuh tempo pada September 2024 dan kembali meningkat September 2025. Tekanan arus kas dan kewajiban bunga membuat ruang manuver keuangan WIKA semakin terbatas.
Dalam konteks ini, opsi restrukturisasi lanjutan melalui Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) dan Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUPSU), termasuk penyesuaian nilai kupon, dinilai menjadi langkah ideal untuk menjaga kesehatan keuangan perseroan.
Direktur PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk, Reza Priyambada, mengatakan WIKA saat ini menghadapi persoalan pelik terkait kewajiban penyelesaian utang di tengah tuntutan proyek-proyek infrastruktur. Adanya restrukturisasi diperlukan agar masalah tidak semakin memberatkan kondisi keuangan WIKA, sambil mencari peluang kontrak baru.
“Untuk menjalankan aksi korporasinya tersebut WIKA perlu untuk menyampaikannya dalam RUPO maupun RUPS sehingga para pemegang saham maupun obligasi dapat mengetahui rencana WIKA ke depan untuk mengatasi problem keuangan yang sedang mereka hadapi,” ucap Reza.
Ia optimistis manajemen WIKA akan mencari solusi terbaik dan menunjukkan komitmen untuk memperbaiki kinerja keuangan dan operasional perseroan. “Tentunya manajemen WIKA akan mencari solusi terbaik dan komitmennya untuk memperbaiki keuangan dan operasional mereka sehingga menjadi win win solution baik dari sisi WIKA nya maupun para pemangku kepentingan,” paparnya.
Skema pengambilalihan pemerintah atas KCIC dan restrukturisasi keuangan WIKA diharapkan menciptakan stabilitas operasional dan keuangan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Langkah ini dinilai mampu meringankan tekanan BUMN, memperkuat fondasi industri perkeretaapian nasional, serta menjaga keberlanjutan proyek strategis yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan mobilitas masyarakat.
































