Logo Bloomberg Technoz

Wahyu menjelaskan saat ini harga nikel di London Metal Exchange (LME) bergerak di kisaran US$14.000—US$15.000 per ton. Ketika pemangkasan produksi tersebut terjadi, harga berpotensi mengalami rebound.

Secara teknikal, Wahyu menjelaskan dalam jangka pendek harga nikel diprediksi bergerak di rentang US$15.000—US$15.500 per ton.

Akan tetapi, jika harga nikel terkoreksi hingga US$14.000/ton, penurunannya diprediksi akan makin dalam dan sulit pulih.

Dalam jangka menengah, Wahyu memprediksi level resisten selanjutnya berada di US$16.000/ton. Jika level itu tertembus, maka level resisten yang akan diuji berada di sekitar US$17.500/ton.

Sementara itu, support terdekat berada di rentang US$13.500/ton Jika harga nikel menembus besaran tersebut, dia memprediksi level support terdekat di US$12.000/ton.

Dalam jangka panjang, dia memproyeksikan level resisten berikutnya di level US$19.00/ton yang merupakan level tertinggi paling relevan sebelum tren menurun.

Kemudian, jika angka tersebut tertembus maka level berikutnya yang diuji US$22.000/ton yang merupakan target pemulihan signifikan.

Sebaliknya, pada skenario ekstrem, harga berpotensi menguji level support psikologis di US$10.000—US$8.000 per ton jika kelebihan pasokan global justru semakin parah.

“Walaupun belum pasti memicu pembalikan harga menjadi bullish, tetapi setidaknya pelemahan terhambat dan menjadi rebound terbatas. Kondisi tersebut bisa memicu rebound potensi harga stabil di sekitar US$17.000/ton,” tegas Wahyu.

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) membeberkan produksi bijih nikel dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2026 diajukan sekitar 250 juta ton, turun drastis dari target produksi dalam RKAB 2025 sebanyak 379 juta ton.

Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan rencana produksi bijih mentah tersebut ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan tahun ini demi menjaga harga nikel agar tidak makin turun.

“Rencana pemerintah gitu [produksi bijih nikel dalam RKAB 2026 sebanyak 250 juta ton]. Rencana ya. Namun, kan saya enggak tahu realisasinya,” kata Meidy ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (16/12/2025).

“Biar harga naik dong. Kalau produksi terlalu over kan harga pasti turun ya,” tegas Meidy.

Meidy menerangkan, berdasarkan kajian yang dilakukan asosiasi pada tahun ini, pasokan nikel di pasar global diprediksi surplus sekitar 209.000 ton, sementara pada tahun depan surplusnya diprediksi mencapai 261.000 ton.

Dia menerangkan 65% dari total surplus pada 2026 tersebut berasal dari Indonesia, sehingga negara ini diharapkan dapat mengontrol pergerakan harga nikel global.

Meidy memprediksi kondisi surplus tersebut berisiko membuat harga logam nikel global di London Metal Exchange (LME) terjerembab ke level US$12.000/ton dari rerata saat ini di kisaran US$14.000—US$15.000 per ton.

“Kalau Indonesia bisa menurunkan kapasitas produksi, harganya bisa naik. Itu sudah pasti hukum alam. Kalau oversupply, demand turun, harga juga ikut turun,” tutur Meidy.

Sekadar informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendukung langkah Kementerian Perindustrian membatasi penerbitan izin investasi dan Izin Usaha Industri (IUI) bagi smelter nikel baru, sebab pasokan nikel dunia dan Tanah Air sudah mencapai level berlebih atau oversupply.

Dengan begitu, Kementerian ESDM juga berencana menyesuaikan target produksi dan kuota produksi nikel 2026.

Dalam kaitan itu, Kementerian ESDM membuka peluang memangkas produksi nikel dalam RKAB 2026 menjadi di bawah besaran tahun ini.

Pokoknya yang lebih-lebih tinggi kita evaluasi lah. Kan over 300.000-an ton, Bisa jadi [di bawah 300.000 ton],” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara ESDM Tri Winarno di kantor Kementerian ESDM, Senin (10/11/2025).

(azr/wdh)

No more pages