Logo Bloomberg Technoz

“Jadi yang kita harapkan dengan adanya PLTN, harga HPP yang dijual ke PLN atau dibeli oleh PLN bisa lebih bersaing,” ungkap dia.

Tunggu NEPIO

Yuliot memastikan pengembangan PLTN di Indonesia baru akan dilakukan usai peraturan presiden (perpres) pembentukan Badan Pelaksana Program Energi Nuklir atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) rampung.

Saat ini, beleid tersebut dilaporkan sedang memasuki tahap pengesahan dari kementerian/lembaga terkait.

Usai beleid pembentukan NEPIO rampung, pemerintah baru akan memulai proses lelang pemilihan mitra pengembang PLTN tersebut.

“Jadi ini untuk rancangan Keputusan Presidennya, ini kan sudah selesai harmonisasi dan juga ini dalam proses pengundangan.Jadi harapannya itu nanti kita akan memilih mitra dalam rangka pembangunan PLTN,” ucap Yuliot.

Adapun, BUMN nuklir Rusia, Rosatom Corp, sempat mengajukan dua proposal pembangunan PLTN di Indonesia dalam pertemuan antarperwakilan bisnis RI-Rusia medio April tahun ini.

Proposal itu disampaikan Kepala Perwakilan Rosatom di Indonesia Anna Belokoneva dalam Pertemuan Sidang Komisi Bersama ke-13 antara Indonesia dan Rusia di Jakarta pada 14 April 2025.

Dalam perkembangannya, Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan negaranya siap melakukan kerja sama di bidang energi, termasuk energi nuklir dengan Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Putin dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kremlin, Moskwa, Rabu (10/12/2025).

Putin menyatakan siap membantu Indonesia jika akhirnya memutuskan untuk melibatkan Rusia dalam pengembangan teknologi nuklir.

“Ada banyak prospek dalam sektor energi termasuk energi nuklir. Saya tahu bahwa Indonesia memang ada rencana terkait dan kalau Indonesia memang memutuskan melibatkan Rusia, kami selalu siap untuk membantu,” kata Putin kepada Prabowo, dalam pertemuan tersebut seperti disampaikan Sekretariat Presiden, dikutip Kamis (11/12/2025).

Sebagai informasi, dalam proposal pertama yang diajukan Rosatom, perusahaan pembangkit nuklir asal Rusia itu mengajukan pembangunan reaktor modular kecil atau small modular reactor (SMR) di daerah pedalaman dan PLTN dengan skala besar.

Untuk PLTN modular kecil, Rosatom akan membangunnya di Kalimantan Barat dengan kapasitas 3x110 MW.

Unit I akan dibangun pada 2032, unit II pada 2033, dan unit III dibangun pada 2035. Biaya rata-rata listrik atau levelized cost of energy (LCOE) dari pembangkit ini sekitar US$85 per megawatt/hour (MWh) sampai US$95 per MWh.

Untuk PLTN skala besar, Rosatom akan membangun dua PLTN di Bangka Belitung dengan kapasitas 2x1.200 MW.

Sementara itu, di Kalimantan Selatan dengan kapasitas yang sama yakni 2x1.200 MW. Dengan demikian, LCOE untuk dua pembangkit skala besar ini di rentang US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.

Adapun, Rosatom berencana untuk membangun dua PLTN skala besar tersebut secara bertahap pada 2037 hingga 2040 untuk ke empat pembangkit nuklir tersebut, dibagi ke dalam empat tahapan.

Opsi kedua, Rosatom mengusulkan untuk membangun PLTN terapung di Kalimantan Barat dengan kapasitas 2x110 MW.

PLTN tersebut akan dibangun pada 2030 dan 2031. Adapun, tarif listrik diperkirakan di rentang US$150 per MWh sampai dengan US$190 per MWh.

Selain itu, Rosatom juga mengusulkan untuk membangun dua PLTN skala besar di Bangka Belitung dan Kalimantan Selatan dengan kapasitas masing-masing 2x1.200 MW.

PLTN tersebut akan dibangun secara bertahap mulai pada 2037 untuk unit I, 2038 untuk unit II, 2039 untuk unit III, dan 2040 untuk unit IV.

Rosatom mengajukan perkiraan tarif listrik untuk pembangkit yang disebut terakhir sekitar US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.

Kedua proposal pengembangan nuklir yang disampaikan Rosatom itu memiliki kapasitas terpasang mencapai 5 gigawatt (GW) sampai dengan 2040.

(azr/wdh)

No more pages