Hal ini sejalan dengan data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang baru-baru ini dirilis. IKK memotret kelompok berpendapatan tinggi, terutama kelompok dengan pengeluaran di atas Rp5 juta, masih jadi motor penggerak optimisme ini, baik dari sisi penghasilan, pembelian barang tahan lama, maupun ekspektasi enam bulan ke depan. Mereka mencatat angka IKK tertinggi dan ekspektasi pendapatan yang solid.
Akan tetapi, bagi kelompok menengah dan menengah bawah sebaliknya. Data menunjukkan kelompok pengeluaran Rp3,1-Rp4 juta mengalami penurunan paling dalam pada beberapa indikator kunci, seperti penghasilan dan kemampuan membeli barang tahan lama.
Kelompok ini mencatatkan penurunan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) -2,2, pada Oktober kelompok ini mencatatkan 104,7 dan turun pada November 105,2. Indeks Penghasilan Saat Ini (IPSI) turun -1,1 dari 110,6 pada Oktober menjadi 109,5 pada November.
Begitu juga dengan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK), di saat semua kelompok pengeluaran mencatatkan kenaikan, kelompok ini justru turun cukup dalam sebesar -4,2 dari 99,2 di bulan Oktober ke 95,0 di bulan November. Dan pada Indeks Pembelian Barang Tahan Lama (Durable Goods) (IPDG), kelompok ini juga mengalami penurunan -1,2 dari 104,2 ke 103 pada November.
Indikasi serupa juga datang dari laporan Indeks Penjualan Rill (IPR) yang mencatatkan pelemahan pada Kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi. Kelompok ini tergerus sebesar -8,3%.
Subsektor Peralatan Informasi dan Komunikasi ini mencakup penjualan telepon seluler (ponsel), alat elektronik lain seperti tablet, televisi, radio, kulkas dan lainnya. Sama seperti durable goods, lemahnya penjualan pada kelompok barang non-esensial ini mengindikasikan bahwa masyarakat masih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar.
Pekerjaan Sulit, Kelas Menengah Terlilit
Data ini menunjukkan bahwa meski ekonomi secara makro menunjukkan perbaikan, tekanan pada konsumsi rumah tangga dan biaya hidup kelas menengah belum mereda. Rumah tangga kelas menengah bawah, yang secara struktur merupakan pendorong terbesar konsumsi nasional ini, masih bergelut dengan stagnasi pendapatan, tekanan harga pangan, dan pelemahan kemampuan belanja.
Sementara, dari sisi produksi, sektor manufaktur memberi dua gambaran sekaligus. Indeks PMI memang menunjukkan ekspansi, berada di atas level 50 pada Agustus-September.
Namun ketika dilihat lebih dalam, pabrik-pabrik padat karya, yang jadi jantung tenaga kerja Indonesia, justru terpukul. Industri kulit dan alas kaki berbalik kontraksi setelah pertumbuhan dua digit tahun lalu. Industri tekstil dan pakaian jadi juga melemah drastis.
Gelombang penutupan pabrik dan PHK yang dimulai sejak 2024 masih terjadi di awal tahun 2025 dengan tutupnya Sritex.
Ekspansi manufaktur yang tercatat dalam PMI tampaknya lebih didorong oleh segmen menengah-atas, bukan oleh basis industri yang paling berpengaruh terhadap lapangan kerja. Memang, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2025 mencatatkan penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 0,06% menjadi 4,85%, akan tetapi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga turun menjadi 70,59% per Agustus 2025 dari periode sama tahun lalu di angka 70,63%.
Data ini sejalan dengan temuan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), bahwa angka pekerja Tidak Penuh yang dikategorikan sebagai pekerja informal, termasuk pekerja Paruh Waktu dan setengah pengangguran, mengalami peningkatan dari 46,19 juta menjadi 47,89 juta orang secara tahunan.
Pada saat yang sama, jumlah penduduk yang Tidak Bekerja dan Tidak Mencari Kerja karena putus asa angkanya juga naik dari 1,68 juta pada tahun 2024 menjadi 1,87 juta orang pada 2025, artinya naik 11% dalam setahun. Menyusutnya jumlah tenaga kerja ini, menurut Laporan Labor Market Brief yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), lantaran ada segmen penduduk yang bergeser dari posisi ‘mencari kerja’ menjadi ‘menyerah’, yang berarti kehilangan kepercayaan terhadap peluang pasar kerja yang tersedia.
Prospek Ekonomi
Memasuki akhir kuartal, arah ekonomi akan sangat bergantung pada pemulihan konsumsi rumah tangga. Tanpa dorongan konsumsi, pertumbuhan 5,2%, apalagi lebih tinggi dari itu akan sulit dicapai.
Untungnya, pada akhir kuartal ada faktor musiman, seperti perayaan Natal dan Tahun Baru, yang dapat sedikit menopang kenaikan daya beli dan konsumsi masyarakat. Momen ini biasanya mengerek konsumsi, mengurangi tekanan psikologis rumah tangga, serta mendorong belanja ritel, pariwisata, dan transportasi. Meski kontribusinya mungkin tidak besar, ia tetap menjadi bantalan penting bagi perekonomian di penghujung tahun.
Selain itu, pemerintah telah mencoba mendorong likuiditas. Kementerian Keuangan menggelontorkan Rp276 triliun ke sektor perbankan beberapa waktu lalu, dengan harapan tambahan likuiditas ini akan merembes ke sektor riil lewat kredit konsumsi maupun kredit modal kerja. Jika transmisi kebijakan ini berjalan lancar, dampaknya dapat terasa pada awal 2026.
Kepala Riset Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2025 diproyeksikan mencapai 5,08%, sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan bulan kuartal sebelumnya 5,04%. Capaian ini lebih rendah daripada proyeksi yang ditargetkan pemerintah, di rentang 5,6%-5,7%. Dengan indikator yang ada, dia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum di tahun ini hanya tumbuh 5,1%, sedikit lebih rendah dari target pemerintah 5,2%.
Meski ekonomi akhir kuartal diprediksi mencatatkan pertumbuhan, risiko tetap ada. Jika daya beli tak segera pulih atau industri padat karya terus tertekan, ekonomi Indonesia berisiko apa yang disebut sebagai statistical mirage, atau fatamorgana statistik, di mana statistik makro tampak solid, tetapi masyarakat dan pelaku usaha kecil tidak merasakan manfaatnya.
Pertumbuhan tahun depan agaknya akan sangat bergantung pada kemampuan ekonomi domestik untuk menguatkan kembali daya beli dan menahan erosi di sektor padat karya.
Senada dengan proyeksi INDEF melalui Laporan Menata Ulang Arah Ekonomi Berkeadilan, yang memprediksi prospek ekonomi Indonesia pada 2026 tidak akan terlalu berjalan mulus. Ketidakpastian global masih tinggi dan bisa dengan mudah menyeret perlambatan ekonomi dunia ke tahun depan. Harapan bahwa daya beli masyarakat akan kembali pulih pun belum sepenuhnya kokoh, terutama karena berbagai persoalan struktural yang belum terselesaikan.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,4% pada 2026, tetapi angka itu tidak akan mudah tercapai tanpa dorongan kebijakan yang benar-benar mampu memperbaiki fondasi pertumbuhan. Apalagi, pertumbuhan setinggi itu masih belum cukup untuk memastikan Indonesia bertahan di kategori upper-middle income dan menciptakan lapangan kerja formal secara luas.
Dengan pertumbuhan penduduk usia kerja sekitar 1,3 persen per tahun, INDEF melihat ekonomi yang tumbuh di bawah 6% ini lebih berpotensi menghasilkan growth without jobs, atau pertumbuhan yang tidak diiringi penciptaan pekerjaan berkualitas.
Dengan tantangan dan dinamika yang membayangi langkah pertumbuhan ekonomi tersebut, INDEF memprediksi pertumbuhan tahun depan berada di kisaran 5%.
“Angka 5% ini bukan sekadar soal capaian statistik, melainkan soal kualitas pertumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan tersebut harus mampu mendorong kenaikan produktivitas, memperluas basis industri, dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja. Tantangan sesungguhnya bukan hanya menjaga agar ekonomi tetap tumbuh, tetapi memastikan pertumbuhan itu berubah menjadi pembangunan yang lebih inklusif, berkeadilan, berkelanjutan, dan kompetitif,” jelas laporan INDEF.
(riset/aji)





























