Beberapa di antaranya tenor 1 tahun turun 2,9 basis poin (bps) jadi 4,98%, yield 5 tahun turun 3,3 bps ke 5,63%, yield tenor 4 tahun turun 3,8 bps ke 5,57% dan tenor tiga tahun turun 5,6 bps ke 5,31%.
Penurunan yield pada tenor pendek-menengah menunjukkan tingginya permintaan investor terhadap obligasi berisiko lebih rendah di tengah perubahan ekspektasi global saat ini. Investor tampaknya bersiap untuk mengunci yield sebelum tren penurunan global berlangsung lebih panjang. Ini menandakan bahwa pasar melihat prospek penurunan suku bunga acuan global sebagai katalis positif bagi aset utang emerging markets.
Meski yield tenor pendek-menengah cukup bergairah, lain halnya tenor panjang yang menunjukkan pergerakan campuran. Yield surat utang bertenor 20 tahun naik 0,5 bps menjadi 6,57%, sedangkan tenor 30 tahun menguat 1,9 bps ke 6,77%.
Begitu juga dengan tenor 40 tahun yang naik tipis 0,5 bps ke 6,79%. Kenaikan kecil pada tenor panjang ini menandakan bahwa sebagian investor belum sepenuhnya yakin terhadap stabilitas jangka panjang, terutama di tengah tekanan fiskal domestik dan kebutuhan pembiayaan besar yang masih mengintai.
Sebagai catatan soal beban fiskal, pemerintah Indonesia sedang menghadapi beban biaya pemulihan pasca bencana besar di Sumatera, dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp51 triliun untuk merehabilitasi dan merekonstruksi infrastruktur yang hancur akibat banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut. Hal ini berpotensi menambah tekanan pada anggaran dan meningkatkan kebutuhan penerbitan surat utang.
Belum lagi pada kuartal I-2026, Kementerian Keuangan akan menghadapi jatuh tempo SBN senilai Rp77,75 triliun dan US$3,82 miliar.
Prospek Tahun Depan
Sinyal pemulihan pasar obligasi di pasar Asia datang dari dua arah, imbal hasil di Asia menjadi jauh lebih kompetitif daripada di pasar negara maju, serta kebijakan dovish The Fed memberi ruang bagi penguatan mata uang di kawasan. Terlebih, dengan indeks dolar yang kini berada di posisi terlemahnya sejak awal Oktober, investor global mulai melihat kembali potensi obligasi Asia sebagai destinasi mencari imbal hasil lebih tinggi saat suku bunga negara maju turun.
Dengan pelonggaran yang dilakukan AS, saat ini banyak bank sentral Asia juga tengah mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga untuk mendukung ekonomi mereka, tanpa ingin menekan nilai tukar. Bank sentral Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Filipina bahkan diproyeksikan akan memangkas suku bunga hingga 175 bps secara total, sampai pertengahan 2026.
“Obligasi lokal emerging markets Asia diprediksi akan tampil kuat pada 2026 karena apresiasi mata uang dan normalisasi kembali imbal hasil (carry), pelonggaran kebijakan oleh The Fed akan menurunkan suku bunga AS relatif terhadap suku bunga lokal di Asia, sehingga kembali menarik investor yang mencari imbal hasil,” kata Belinda Liao, manajer portofolio di Fidelity International, seperti dikutip dari Bloomberg News.
Dalam lanskap ini, posisi Indonesia cukup strategis. Ahli strategi BofA Securities berbasis di Singapura, Abhay Gupta, melihat ruang pelonggaran suku bunga masih cukup besar, Indonesia bahkan dinilai memiliki ruang paling longgar dibanding negara lain di kawasan.
"Indonesia, Filipina, dan India menawarkan imbal hasil riil terbaik saat ini, sehingga obligasi tenor lima tahun dari ketiga negara tersebut tetap menarik," katanya, seperti dikutip Bloomberg News.
Meski tahun ini kinerja obligasi Asia kurang menggembirakan, baru menghasilkan return sekitar 3,7%, terendah dalam tiga tahun, prospeknya pada 2026 diprediksi jauh lebih cerah. Arus modal asing juga diperkirakan meningkat, terutama jika kondisi pasar global stabil.
Menurut Homin Lee dari Lombard Odier, pemulihan arus modal ke Asia mulai terlihat tahun ini dan bisa lebih kuat pada tahun depan apabila sentimen pasar global tetap positif. Tekanan inflasi yang rendah di banyak negara Asia, seperti India, Thailand, Filipina, dan China, juga menjadi faktor pendukung. Inflasi Indonesia pun masih berada dalam target, sehingga imbal hasil obligasinya terlihat semakin menarik.
Keberlanjutan momentum ini tetap bergantung pada kemampuan domestik Indonesia dalam menjaga stabilitas fiskal dan nilai tukar. Beban fiskal pemulihan bencana dan tenggat pembayaran utang yang akan jatuh tempo kuartal pertama tahun depan bisa jadi tantangan.
Asalkan pemerintah berkomitmen dengan mengeluarkan kebijakan yang konsisten, dan investor global menangkap sinyal tersebut, Indonesia mungkin bisa mempertahankan posisinya sebagai salah satu pasar obligasi paling atraktif di Asia.
(riset/aji)





























