Logo Bloomberg Technoz

Di sisi lain, produksi beras hanya terpusat di beberapa provinsi. Kemudian produksi beras terjadi secara musiman. Dia menyontohkan ketika Pulau Jawa tengah panen raya, Sumatera Selatan ataupun Sulawesi Selatan belum terjadi panen. Sementara sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan non produksi padi seperti Maluku dan Papua dengan tingkat produksi beras 5%-10%. 

Khudori bercerita, saat dia mengunjungi Sorong dan Raja Ampat, biaya angkut beras per kg mencapai Rp23.000 sementara HET beras premium di Zona 3 hanya Rp15.800/kg sedangkan beras SPHP Rp13.500. 

Menurutnya, sampai kapanpun wilayah Pegunungan Papua, Raja Ampat ataupun Papua Barat Daya lainnya tidak mungkin bisa mencapai harga beras SPHP yang diatur oleh pemerintah. 

“Harga angkut lebih mahal daripada barangnya, bagaimana bisa mencapai HET? Jangan-jangan ya, meskipun hampir bisa dipastikan biaya transportasi laut ke Sabang itu tidak semahal biaya transportasi udara di Papua, tapi bisa jadi itu terlampaui harga patokan penjualan SPHP yang ada di Sabang,” ucap Khudori. 

“Kalau pemerintah tidak mengantisipasi punya cadangan yang cukup yang memang disiapkan ketika terjadi kegagalan atau gangguan transportasi, bisa saja terjadi shortage, terjadi kelangkaan problem-problem itu. Saya kira juga sebagian di antaranya dialami Sabang,” tambahnya. 

Subsidi Energi

Bagaimanapun, Peneliti pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian mengungkapkan hampir 50% produksi beras Indonesia disumbang dari Pulau Jawa. Ketika Sabang yang bukan sentra produksi padi harus menunggu suplai beras dari Pulau Jawa, maka biaya distribusinya relatif mahal.

“Jadi memang lebih murah ketika mengimpor. Memang ini persoalan utama kita juga dalam hal pendistribusian komoditas pangan terutama. Karena lokasi kita kan geografisnya memang kepulauan dan juga memang dari sisi biaya logistik kita masih mahal,” ujar Eliza. 

“Dan itu juga mesti jadi tantangan terbesar kita.”

Dalam kaitan itu, Eliza menyarankan pemerintah dapat memberikan insentif atau membuat skema subsidi silang seperti BBM satu harga bagi pengiriman barang khusus komoditas-komoditas pangan strategis. 

“Jadi memang ini perlu insentif untuk para pelaku di bidang logistik. Misalkan khusus penugasan beras diberikan subsidi energi. Jadi ini bisa menekan biaya distribusinya,” ucapnya. 

Opsi lainnya, pemerintah perlu mengoptimalkan peranan Perum Bulog karena BUMN sektor pangan tersebut memiliki jaringan yang luas dari sisi infrastruktur.

Solusi 

Menurut Khudori, ketika pemerintah memaksakan swasembada beras dapat dilakukan di berbagai wilayah yang memang tidak memiliki basis penghasil beras konsekuensinya harga akan melambung tinggi. Ditambah sederet permasalahan mengintai seperti transportasi, infrastruktur, pergudangan, hingga kelangkaan. 

Untuk itu, dia menyarankan beras tidak diperuntukkan bagi semua penduduk di Indonesia khususnya di Papua yang merupakan penghasil sagu. Jika preferensi masyarakat tetap menggunakan beras, sagu dapat dibuat tepung dan diolah menjadi beras analog yang bentuknya persis beras. 

“Sagu itu pun bisa kompetitif dengan beras mestinya ya, apakah ada problem teknologi? Nggak sebetulnya nggak ada problem karena angka partisipasi konsumsi beras itu kita sudah 100% jadi enggak ada wilayah satupun di negeri ini yang tidak makan beras,” imbuhnya. 

Baru-baru ini, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut pemerintah mencoba memberi solusi permanen untuk persoalan beras di Aceh lewat program cetak sawah. 

Pernyataan itu Amran sampaikan saat menanggapi keberatan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem) karena pemerintah menyita dan menindak importasi 250 ton beras yang masuk melalui kawasan free trade zone (FRZ) di Sabang.

“Ada permintaan dari Aceh, kita cetak sawah. Jadi kita memberikan solusi permanen,” kata Amran saat ditemui di kediamannya, Selasa (25/11/2025).

Amran mengatakan Kementerian Pertanian sudah berdiskusi dengan Gubernur Aceh. Pemerintah juga menyiapkan anggaran program cetak sawah dan pembangunan irigasi dengan nilai hampir Rp200 miliar.

“Tahun 2025, 100 tepatnya, 189. Tahun depan kemungkinan dua kali lipat. Kami akan cetak sawah lagi,” ujar Amran.

Pemerintah menyatakan Indonesia tengah berupaya mencapai swasembada pangan dan menutup keran impor. Menurut Amran, Indonesia sebagai negara dengan penduduk besar merupakan pasar beras besar di dunia. 

Ketika impor ditutup, harga beras di negara pengekspor jatuh. Amran menyebut harga beras merosot dari US$650/ton menjadi US$340/ton. 

“Penduduk kita adalah nomor 4 dunia, 286 juta. Apakah kita mau jadi pasar?,” imbuh Amran.

(ell)

No more pages