Ia juga menyoroti kemungkinan efek jangka panjang jika inhaler terkontaminasi digunakan terus-menerus. Pada pasien dengan penyakit kronis, paparan berulang dapat memperburuk kondisi asma atau PPOK dan meningkatkan frekuensi serangan kambuhan. Selain itu, mikroba atau jamur yang menghasilkan toksin juga dapat menimbulkan efek toksik meskipun sudah mati.
“Jamur atau bakteri tertentu bisa menghasilkan enzim atau racun yang merusak bahan aktif obat dan memicu reaksi tubuh, bahkan ketika mikrobanya sudah tidak hidup. Ini yang sering tidak disadari masyarakat,” kata Dicky menambahkan.
Ia mengingatkan bahwa kasus semacam ini pernah terjadi di luar negeri, ketika obat inhalasi ditarik dari pasaran karena terkontaminasi bakteri Pseudomonas dan menyebabkan infeksi serius pada pasien paru kronis. “Jadi, kontaminasi inhaler bukan persoalan sepele,” tegasnya.
Terkait kasus di Thailand, Dicky menilai langkah otoritas setempat sudah tepat dengan mengeluarkan peringatan publik dan mempertimbangkan tindakan hukum terhadap produsen.
Ia juga mendorong Badan POM RI untuk segera menelusuri apakah produk dengan batch serupa beredar di Indonesia. “BPOM sebaiknya memastikan keamanan produk ini dan memberikan imbauan kepada penjual bila ditemukan di pasar domestik,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dicky mengingatkan bahwa label “herbal” tidak otomatis menjamin keamanan suatu produk. “Produk herbal tetap mengandung senyawa kimiawi, dan keamanannya bergantung pada proses produksi serta kontrol mutunya. Jadi, jangan tertipu oleh anggapan bahwa semua yang alami pasti aman,” katanya menutup.
(dec/spt)
































