Logo Bloomberg Technoz

Sikap Luhut itu sekaligus menampik pandangan Mahfud MD yang menilai proyek Whoosh sarat utang dan berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia.

Mahfud MD sebelumnya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam pada kabinet bentukan Presiden Joko Widodo.

Menko Polhukam Mahfud MD memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis (1/2/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Mahfud menyebut bunga utang proyek Whoosh mencapai Rp2 triliun per tahun, sementara pendapatan tiket hanya sekitar Rp1,5 triliun, sehingga menimbulkan beban finansial jangka panjang.

Mahfud juga menyinggung dugaan pembengkakan biaya pembangunan hingga tiga kali lipat dibanding proyek serupa di China, yang menurutnya perlu diselidiki secara hukum.

Dia turut mengingatkan potensi risiko geopolitik jika Indonesia gagal membayar kewajiban kepada pihak kreditur.

Namun, Luhut menilai pernyataan Mahfud tidak berdasar karena tidak memahami konteks data dan mekanisme pembiayaan proyek.

“Kadang-kadang saya nggak ngerti, bicara apa. Kalau kita nggak ngerti datanya, jangan komentar dulu. Cari dulu datanya baru bicara,” ucapnya.

Luhut  menegaskan, proyek Kereta Cepat Whoosh tetap dilanjutkan dengan mekanisme bisnis yang tidak menggunakan dana APBN.

Bahkan, menurutnya, pihak China masih berkomitmen untuk melanjutkan kerja sama hingga jalur diperpanjang ke Surabaya, asalkan restrukturisasi segera rampung.

“China itu hanya bilang, kita mau terus sampai ke Surabaya kalau kalian menyelesaikan masalah restrukturisasi ini segera. Jadi apa yang nggak bisa diselesaikan kalau kita kompak?” kata Luhut.

Restrukturisasi Whoosh

Sebelumnya, restrukturisasi megaproyek Whoosh sedang digodok oleh Danantara karena utang pembangunan kereta cepat tersebut membebani BUMN, terutama PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai operator. 

COO Danantara, Dony Oskaria, menyebut pihaknya masih menunggu keputusan akhir mengenai restrukturisasi proyek tersebut yang turut membebani sejumlah BUMN.

Danantara mengajukan sejumlah opsi, salah satunya adalah menyerahkan infrastruktur PT Kereta Cepat Indonesia China atau KCIC kepada pemerintah.

Sebagai catatan, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) dikelola oleh konsorsium yang melibatkan sejumlah BUMN, antara lain PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR).

Penumpang ujicoba Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) tiba di Stasiun KCIC Tegalluar, Jumat (15/9/2023). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Total nilai investasi proyek ini mencapai sekitar US$7,2 miliar, termasuk pembengkakan biaya atau cost overrun senilai US$1,2 miliar.

Pendanaan proyek dilakukan melalui kombinasi 75% pinjaman dari China Development Bank (CDB) dan 25% penyertaan modal para pemegang saham.

Struktur kepemilikannya terbagi antara PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan porsi 60% dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. sebesar 40%.

Beban keuangan proyek tersebut turut menekan kinerja keuangan KAI. Hingga semester I-2025, KAI masih menanggung rugi hampir Rp1 triliun dari operasional Kereta Cepat Whoosh. Angka itu mencerminkan bagian kerugian dari kepemilikan KAI di PSBI yang mencapai 58,53%.

Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2025, KAI membukukan rugi bersih Rp951,48 miliar dari pos asosiasi dan ventura bersama di PSBI.

Jika dihitung secara tahunan, kerugian tersebut setara dengan sekitar Rp1,9 triliun, sementara sepanjang 2024 KAI mencatat rugi Rp2,69 triliun dari entitas yang sama.

Kerugian ini terus berlanjut sejak Kereta Cepat Whoosh mulai beroperasi secara komersial pada Oktober 2023.

(art/naw)

No more pages