“Kita tidak kekurangan uang, tapi kita sering kekurangan mekanisme penyaluran yang berani dan tepat, sektor keuangan sebagai channel harus pro-growth,” kata Fakhrul.
Ia melanjutkan, “Kebijakan ini penting untuk membuktikan bahwa likuiditas pemerintah bisa bergerak hingga ke sektor produktif, tidak berhenti di neraca perbankan.”
Fakhrul juga menyoroti bahwa koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia kini menjadi kunci, karena di tengah tekanan global seperti ancaman tarif 100% AS dan pembatasan ekspor rare earth dari Tiongkok, satu-satunya cara menjaga momentum ekonomi adalah memastikan uang bekerja di tempat yang produktif di dalam negeri.
“Ketahanan ekonomi modern tidak datang dari aliran modal global yg tak pasti, tapi dari arsitektur likuiditas domestik yang mengalir kebawah,” tegasnya.
Menurut Fakhrul, langkah pemerintah yang menyalurkan kembali dana-dana mengendap ke dalam sektor produktif akan memperkuat fondasi ekonomi nasional. Namun, ia menekankan pentingnya keberanian dalam kebijakan agar likuiditas tidak berhenti di lapisan atas, melainkan benar-benar menggerakkan aktivitas ekonomi masyarakat.
Momentum untuk Menyusun Strategi Jangka Panjang
Fakhrul mengingatkan bahwa kebijakan jangka pendek seperti penempatan dana pemerintah hanya efektif jika diikuti reformasi pembiayaan jangka menengah yang lebih berani. Ia menilai, Indonesia perlu segera memperkuat tiga hal utama.
Pertama, membangun sistem pembiayaan produktif berbasis risiko terukur, seperti penguatan industri modal ventura dan pembiayaan inovatif untuk sektor riil.
Kedua, menata ulang strategi pengelolaan sumber daya alam strategis seperti logam tanah jarang (rare earth elements) untuk kepentingan industri nasional.
Ketiga, menjaga keberlanjutan fiskal dan kredibilitas moneter agar kepercayaan pasar tetap tinggi di tengah ketidakpastian global.
“Kita tidak bisa hanya bereaksi pada gejolak global. Kita perlu strategi yang membuat setiap krisis menjadi momentum penguatan,” ujar Fakhrul.
Ia menambahkan bahwa perencanaan jangka panjang yang matang akan menentukan bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan setiap perubahan global menjadi peluang, bukan ancaman. Dalam pandangannya, sistem ekonomi harus mampu membangun daya dorong dari dalam negeri tanpa bergantung pada volatilitas modal asing.
Dari Resilience ke Arsitektur Anti-Fragile
Dalam pandangan Fakhrul, Indonesia perlu bergerak melampaui gagasan “resilience” yang pasif dan mulai membangun ekonomi yang “anti-fragile”, yakni ekonomi yang justru tumbuh dan beradaptasi di tengah tekanan.
“Dalam bahasa Nassim Taleb, ketahanan sejati bukan tentang bertahan, tetapi tentang bertumbuh melalui ketidakpastian. Dunia sedang berubah cepat; Indonesia harus menata desain ekonominya agar setiap guncangan menjadi sumber kekuatan baru, misalnya ketika ada perdebatan dunia terkait rare earth, Indonesia harus ada ditengah untuk mengahdapinya demi kepentingan rakyat Indonesia,” tutupnya.
Fakhrul menekankan bahwa konsep anti-fragile economy adalah langkah menuju ekonomi yang benar-benar mandiri dan adaptif terhadap perubahan global. Dengan memperkuat likuiditas domestik, meningkatkan koordinasi fiskal-moneter, serta menyiapkan kebijakan pembiayaan yang progresif, Indonesia dapat menciptakan sistem ekonomi yang tidak mudah rapuh, tetapi justru semakin kuat menghadapi tekanan dunia.
Paradigma ini, menurutnya, akan menjadi kunci bagi Indonesia untuk bertransformasi dari sekadar negara yang mampu bertahan menjadi negara yang tumbuh melalui krisis, menjadikan ketidakpastian sebagai energi untuk memperkokoh kemandirian ekonomi nasional.
(red)































