Untuk itu, Pertamina tidak bisa menanggung sendiri, dan perlu bermitra dengan investor strategis, misalnya Saudi Aramco atau perusahaan migas asing lainnya.
Namun, Komaidi menilai investor asing juga menuntut insentif pajak jangka panjang agar proyek dapat berjalan.
“Saudi Aramco misalnya, meminta pembebasan pajak 15 tahun. Nah, ini yang sering kali tidak ketemu, karena dari sisi pemerintah juga ada batasan fiskal,” kata dia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan pemerintah tengah mencermati tekanan margin industri kilang minyak di tingkat global, khususnya di China, yang dipicu oleh percepatan transisi energi dan naiknya populasi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
“Itu kan seperti di China. Mereka populasi kendaraan listrik naik, baik kendaraan pribadi, angkutan umum, maupun kapal. Jadi lebih dari 50% itu menggunakan baterai,” ujarnya di Jakarta, Jumat (12/9/2025).
Sementara itu, di Indonesia sendiri kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia masih tinggi, mencapai sekitar 1,5 juta barel per hari (bph) menurut Yuliot.
Sebagian besar minyak yang didatangkan dari impor juga diolah di kilang dalam negeri untuk menjadi BBM.
Dengan demikian, industri kilang di Tanah Air diyakini belum akan terpengaruh oleh tren global tersebut lantaran permintaannya masih kuat.
Sebagai gambaran, industri hilir migas di China kini menghadapi tekanan besar. Sebagian besar SPBU di negara itu tutup, dan banyak kilang mengalami kelebihan kapasitas produksi karena permintaan bahan bakar fosil terus menurun.
Pemerintah China bahkan tengah memangkas kapasitas kilang domestik hingga 100 juta ton dalam lima tahun ke depan, dengan menutup fasilitas kecil dan mengalihkan investasi ke petrokimia bernilai tambah tinggi.
(art/wdh)


































