Ia menyampaikan bahwa jika hasil penyidikan mengarah pada aktivitas peretasan oleh WFT “maka status WFT bisa dipastikan sebagai Bjorka yang selama ini buron.” Polri diketahui membutuhkan waktu enam bulan guna melacak, mengumpulkan alat bukti, serta menangkap terduga sosok di balik Bjorka.
Kasubbid Penmas Bid Humas Polda Metro Jaya AKBP Reonald Simanjuntak sebelumnya menyatakan bahwa Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya menduga WFT telah mengakses secara ilegal dan manipulasi data seolah-olah data otentik dengan modus mengunggah tampilan database akun nasabah di salah satu bank swasta di Indonesia.
Tak lama pengungkapan kasus, terdapat dugaan data bocor berisi 341 ribu data pribadi personel Kepolisian, dilakukan oleh akun yang juga menamakan diri seabgai Bjorka, tersiar dari unggahan Teguh Aprianto, pakar keamanan siber melalui media sosial X dengan akun @secgron.
Tangkapan layar yang Teguh sertakan tertulis keterangan kumpulan data berisi nama, satuan tugas, nomor kontak, hingga pangkat jabatan serta data email anggota Kepolisian. Belum ada keterangan dari Polri terkait dugaan kebocoran data terbaru ini.
> Polisi mengklaim menangkap Bjorka
— Teguh Aprianto (@secgron) October 5, 2025
> Padahal yang ditangkap itu cuma faker alias peniru
> Bjorka kemudian merespons dengan membocorkan 341 ribu data pribadi anggota Polri yang berisi informasi nama lengkap, pangkat, tempat bertugas, nomor hp dan email ? pic.twitter.com/dK6T6lDKHi
Penegakan Aturan Perlindungan Data
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan kerja APH Reserse Siber Polda Mtro adalah bagian dari ujian atas penegakan hukum atas regulasi perlindungan data pribadi, terlepas kepastian Bjorka yang telah diamankan benar atau salah.
"Lepas dari polemik mengenai keaslian dari siapakah Bjorka yang dimaksud? Sepanjang bahwa kepolisian memiliki bukti-bukti kuat terkait dengan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh akun @Bjorkanesiaaa, maka sudah seharusnya proses penegakan hukum dilakukan secara konsisten," jelas KMS.
KMS lantas menyoroti penyelesaian kasus hukum terkait perlindungan data pribadi tidak dilakukan secara akuntabel, bahkan setelah Indonesia menerapkan UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Tidak terungkap pelaku secara pasti ataupun motif di balik aksi.
" Hal itu berakibat pada korban atau subjek data pribadi tidak dapat mengakses ganti kerugian atau pemulihan. Kondisi ini menjadi kian berlarut-larut dengan tidak kunjung selesainya proses pembentukan Peraturan Pemerintah tentang implementasi UU PDP, dan pembentukan otoritas PDP, yang akan menjadi dasar dan rujukan bagi pelaksanaan standar kepatuhan pelindungan data pribadi," terang KMS.
*) Artikel ini mendapatkan pembaruan berupa dugaan 341 ribu data personel Polri dibocorkan hacker Bjorka.
(red/wep)































