Padahal, sampah yang diterima relatif heterogen, sehingga realisasi capacity factor atau rasio setrum yang dihasilkan relatif rendah pada dua PLTSa tersebut.
Sementara itu, teknologi incineration relatif mampu menerima hampir semua jenis sampah, dengan ketahanan yang lebih stabil.
Di sisi lain, Yuliot menambahkan, pemerintah sepakat untuk menetapkan tarif listrik PLTSa sebesar US$20 sen per kilowatt hour (kWh).
Ketetapan tarif listrik sampah itu bakal membatasi ruang negosiasi yang alot antara PLN dengan pengembang listrik swasta (IPP).
“Dengan ditetapkan US$20 sen per kWh, jadi tidak ada lagi beban tipping fee kepada pemerintah daerah,” tuturnya.
Adapun, posisi tarif listrik itu relatif lebih rendah dari angka yang sempat diajukan PLN di level US$22 sen per kWh.
Usulan itu disampaikan PLN saat memberi masukkan pada revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Lewat bahan presentasi PLN yang dilihat Bloomberg Technoz, kenaikan ceilling tarif PLTSa itu menjadi konsekuensi dari rencana pemerintah untuk menghapus beban tipping fee atau pengelolaan sampah di tingkat pemerintah daerah.
Rencanannya, beban tipping fee itu akan diidentifikasi sebagai ongkos produksi listrik yang akan tecermin dalam tarif listrik yang disetujui bersama dengan PLN.
Konsekuensinya, tipping fee yang selama ini dibayar lewat skema anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di tingkat pemerintah daerah akan langsung menjadi beban yang ditanggung PLN.
Di sisi lain, PLN juga mengajukan bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat lewat skema subsidi atau kompensasi pada rancangan revisi Perpres yang akan segera diteken Presiden Prabowo Subianto akhir bulan ini.
Skema kompensasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) itu sebelumnya tidak diatur dalam perpres lama. Dalam regulasi pembangkit listrik sampah sebelumnya, tipping fee dibayarkan lewat APBD dengan tarif listrik feed in tarrif maksimal US$13,35 sen per kWh.
Selain itu, PLN mengusulkan model kontrak take and pay dengan annual contracted energy (ACE) untuk menjamin pengembalian investasi dalam beleid yang anyar. Sebelumnya, skema jaminan pengembalian investasi belum diatur pada regulasi lama.
Direktur Pengembangan Bisnis dan Niaga PLN IP Bernardus Sudarmanta mengatakan perseroannya bakal bertindak sebagai bagian dari pengembang pada PLTSa selepas Perpres baru diteken pemerintah.
Bernardus menuturkan jumlah proyek PLTSa yang akan dilelang PLN masih bersifat dinamis.
Kendati demikian, PLN mencatat terdapat 11 PLTSa yang masuk dalam perencanaan dan 24 proyek lainnya masuk dalam usulan potensi scale up di sejumlah kota besar.
“PLN IP akan menjadi bagian dari developer saja. Mengenai jumlah proyek belum ada kepastian,” kata Bernardus saat dikonfirmasi.
Sampai dengan semester I-2025, PLN telah menadantangani PJBL untuk PLTSa Palembang, PLTSa Sunter, PLTSa Surabaya dan PLTSa Surakarta.
Hanya 2 PJBL yang telah beroperasi di antaranya PLTSa Putri Cempo di Solo berkapasitas 5 megawatt (MW) dan PLTSa Benowo di Surabaya berkapasitas 9 MW.
(naw)






























