Belakangan, pemerintah tengah intens untuk mendorong program pengolahan sampah menjadi listrik untuk bisa berjalan setelah lama mandek akibat persoalan tipping fee di daerah.
Minat pada pengelolahan sampah menjadi setrum itu terlihat dari upaya pemerintah untuk merombak model bisnis pengembangan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) tahun ini.
Pemerintah menargetkan revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan itu rampung akhir tahun ini.
Rencanannya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN bakal membuka lelang setelah beleid sampah jadi setrum itu rampung.
Dipatok US$20 Sen
Sebelumnya, Chief Executive Officer (CEO) Danantara Rosan Roeslani membeberkan tarif listrik PLTSa bakal dipatok di level US$20 sen per kilowatt hour (kWh).
Rosan mengatakan ketetapan tarif listrik sampah itu bakal membatasi ruang negosiasi yang alot antara PLN dengan pengembang listrik swasta (IPP).
“Sangat jelas dari segi pricing, satu harga US$20 sen, jadi tidak ada negosiasi lagi, harga sudah jelas,” kata Rosan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
Di sisi lain, Rosan mengatakan, minimal pasokan sampah yang mesti diolah IPP nantinya sebesar 1.000 ton per hari.
“Kalau di Jakarta 1 titik bisa sampai 2.500 ton per hari,” kata dia.
Sementara itu, Rosan menargetkan, sebelum akhir tahun ini sejumlah proyek PLTSa sudah bisa mulai kontruksi.
“Jakarta sendiri akan ada 4 titik, dan akan melakukan tender secara terbuka, transparan,” kata Rosan.
Adapun, posisi tarif listrik itu relatif lebih rendah dari angka yang sempat diajukan PLN di level US$22 sen per kWh.
Usulan itu disampaikan PLN saat memberi masukkan pada revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Lewat bahan presentasi PLN yang dilihat Bloomberg Technoz, kenaikan ceilling tarif PLTSa itu menjadi konsekuensi dari rencana pemerintah untuk menghapus beban tipping fee atau pengelolaan sampah di tingkat pemerintah daerah.
Rencanannya, beban tipping fee itu akan diidentifikasi sebagai ongkos produksi listrik yang akan tecermin dalam tarif listrik yang disetujui bersama dengan PLN.
Konsekuensinya, tipping fee yang selama ini dibayar lewat skema anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di tingkat pemerintah daerah akan langsung menjadi beban yang ditanggung PLN.
Di sisi lain, PLN juga mengajukan bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat lewat skema subsidi atau kompensasi pada rancangan revisi Perpres yang akan segera diteken Presiden Prabowo Subianto akhir bulan ini.
Skema kompensasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) itu sebelumnya tidak diatur dalam perpres lama. Dalam regulasi pembangkit listrik sampah sebelumnya, tipping fee dibayarkan lewat APBD dengan tarif listrik feed in tarrif maksimal US$13,35 sen per kWh.
Selain itu, PLN mengusulkan model kontrak take and pay dengan annual contracted energy (ACE) untuk menjamin pengembalian investasi dalam beleid yang anyar. Sebelumnya, skema jaminan pengembalian investasi belum diatur pada regulasi lama.
Sampai dengan semester I-2025, PLN telah menadantangani PJBL untuk PLTSa Palembang, PLTSa Sunter, PLTSa Surabaya dan PLTSa Surakarta.
Hanya 2 PJBL yang telah beroperasi di antaranya PLTSa Putri Cempo di Solo berkapasitas 5 megawatt (MW) dan PLTSa Benowo di Surabaya berkapasitas 9 MW.
(naw/wdh)
































