“Bagus, beban subsidi jadi berkurang kan dalam hal ini untuk pemerintah, bagus banget,” ujarnya.
Rapat SPBU
Adapun, Kementerian ESDM hari ini menggelar rapat bersama perusahaan pengelola SPBU yakni Shell Indonesia, BP-AKR, dan Pertamina. Anggia mengaku bahwa masing-masing badan usaha (BU) hilir migas menyampaikan persoalan yang dihadapi saat ini.
Dia menggarisbawahi akan terdapat rapat lanjutan yang dilakukan Kementerian ESDM bersama dengan seluruh perusahaan SPBU tersebut. Dengan begitu, belum terdapat keputusan yang diputus oleh Kementerian ESDM dan para badan usaha (BU) hilir migas tersebut.
“Ini masih dalam tahap pembahasan, kita mendengarkan apa yang menjadi concern dari SPBU swasta. Pemerintah dalam hal ini juga pasti menjaga iklim investasi kan,” klaim Anggia.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyebut belakangan ini terjadi migrasi atau pergeseran permintaan untuk BBM, khususnya bensin nonsubsidi dengan RON di atas 90 setara Pertalite, sehingga kebutuhan impor komoditas pun ikut terkerek.
“Jadi untuk peningkatan [impor] itu terjadi karena ada shifting juga. Ini kan Pertamina mewajibkan [pembeli BBM bersubsidi] menggunakan QR Code. Masyarakat perlu mendaftar, kemudian mungkin juga cc kendaraannya tidak sesuai [tidak memenuhi syarat untuk membeli BBM bersubsidi seperti Pertalite],” ujarnya ditemui di kompleks parlemen, pekan lalu.
Akibat banyaknya masyarakat yang tidak memenuhi syarat untuk membeli Pertalite, kata Yuliot, terjadi gelombang pergeseran permintaan terhadap BBM nonsubsidi; baik di SPBU Pertamina maupun swasta.
“Menurut perhitungan kami, itu shifting yang terjadi sekitar 1,4 juta kiloliter [kl]. [...] Jadi itu yang menyebabkan [gangguan pasokan bensin RON 92 dan 95 di SPBU swasta] karena ada peningkatan permintaan untuk badan usaha swasta,” terang Yuliot.
Kala itu, Dirjen Migas Kementerian ESDM Laode Sulaeman membantah migrasi besar-besaran konsumsi BBM nonsubsidi di SPBU swasta itu terjadi akibat isu ‘BBM oplosan’ di SPBU Pertamina beberapa bulan yang lalu.
“Tadi kan sudah disampaikan Pak Wamen ada shifting. Jadi masyarakat kita ternyata saat ini tidak menggantungkan diri pada BBM subsidi. Mereka juga shifting jenis BBM yang di atas RON 90,” tegasnya.
Adapun, impor minyak mentah dan hasil minyak (termasuk BBM) Indonesia mengalami lonjakan pada Juli dibandingkan dengan bulan sebelumnya, menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir awal pekan ini.
Impor minyak mentah pada Juli 2025 mencapai US$786 juta, melompat 34,92% secara bulanan. Adapun, impor hasil minyak turut naik 5,38% secara bulanan menjadi US$1,72 miliar pada Juli.
Secara kumulatif, impor minyak mentah Januari—Juli 2025 mencapai US$4,96 miliar, turun 21,07% dari rentang yang sama tahun lalu. Impor hasil minyak Januari—Juli US$13,41 miliar, juga turun 12,20% secara tahunan.
Sekadar catatan, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat menyatakan pembahasan ihwal rencana penyesuaian subsidi BBM menggunakan skema bauran dengan bantuan langsung tunai (BLT) sudah hampir selesai.
Bahlil menyebut saat ini pemerintah berupaya mempercepat sinkronisasi data tunggal yang akan digunakan untuk mengeksekusi perubahan skema distribusi subsidi BBM tersebut.
Awal tahun ini, Bahlil mengungkapkan kebijakan pengalihan sebagian subsidi BBM menjadi BLT belum juga diumumkan karena terkendala pematangan data penerima subsidi BBM.
Adapun, skema penyaluran BBM bersubsidi yang baru bakal dilakukan secara kombinasi atau blended. Artinya, sebagian subsidi masih akan diberikan kepada komoditas/barang, sedangkan sebagian lagi dialihkan ke format BLT.
Subsidi barang dalam bentuk BBM rencananya hanya akan disalurkan untuk kendaraan berpelat kuning alias transportasi publik, pengemudi ojek daring, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
(azr/wdh)































