Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto sebelumnya sempat mengatakan jika otoritas pajak negara telah mengumpulkan penerimaan sekitar Rp500-600 miliar per tahun sejak mengenakan pajak atas transaksi komoditas kripto.
Penerimaan ini tak lepas dari penerapan pajak kripto yang diklaim terus mengalami peningkatan karena pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebelumnya memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang bersifat final atas transaksi komoditas kripto.
"Sepanjang 2-3 tahun semenjak introduction-nya itu, perkembangan dari penerimaan kripto ini terus meningkat dan kita lihat setahun kemarin kalau tidak salah penerimaannya ada antara kisaran Rp500-600 miliar per tahun," jelas Bimo, awal bulan ini.
Pemerintah sebelumnya memang resmi menetapkan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi kripto yang bersifat final sebesar 0,21% yang berlaku per 1 Agustus 2025 ini, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.
Latar belakang diterbitkannya PMK tersebut sebab adanya perubahan status aset kripto sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), dari yang awalnya komoditi menjadi aset keuangan digital.
Besaran tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan sebesar 0,21% dari nilai transaksi apabila dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) Dalam Negeri, dan sebesar 1% apabila transaksi dilakukan melalui PPMSE Luar Negeri.
(lav)






























