Selain skema penyaluran HGBT yang lebih terarah, Yusuf menyarankan agar kuota penyaluran HGBT disesuaikan dengan kondisi pasokan aktual dan tidak dibatasi secara kaku sebagaimana sempat diterapkan oleh PGN.
Harga Bertingkat
Dari sisi harga, dia memandang perlu adanya sistem harga bertingkat. Misalnya, HGBT ditetapkan sebesar US$6 per million british thermal unit (MMBtu) untuk kuota dasar yakni 60%—70% dari kebutuhan.
Lalu, naik bertingkat ke US$7—US$8 per MMBtu untuk kelebihan volume. Dalam kaitan itu, dia meminta agar PGN tak mengenakan biaya tambahan yang terlalu tinggi jika konsumen menggunakan gas bumi di luar volume alokasi HGBT.
“Insentif tambahan juga bisa diberikan bagi industri yang mampu mencapai target efisiensi energi, ekspor, atau ramah lingkungan,” tegasnya.
Dalam kaitan itu, Yusuf memandang kebijakan HGBT ditetapkan untuk mengoptimalkan penggunaan gas bumi dan mengurangi beban subsidi negara yang diprediksi mencapai puluhan triliun per tahun.
Dia memandang skema HGBT sejak diberlakukan pada 2020 terbukti memberi manfaat besar bagi tujuh industri penerima a.l. pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Yusuf mengkalkulasi, program HGBT menimbulkan total manfaat ekonomi sebesar Rp247,26 triliun selama 2020–2023. Akan tetapi, ketika kuota penyaluran HGBT dipersempit, efektivitasnya mulai dipertanyakan.
“Program ini berhasil mendorong pertumbuhan industri, meningkatkan ekspor, membuka lapangan kerja, dan menghemat subsidi pupuk hingga Rp21,7 triliun. Total manfaat ekonominya bahkan mencapai Rp247,26 triliun selama 2020—2023,” ungkap Yusuf.
Persempit Penerima
Untuk itu, Yusuf memandang pemerintah tak bisa serta-merta menghentikan program HGBT. Namun, pemerintah dipandang bisa mengubah skema penyaluran agar tak terlalu luas.
Pemerintah, menurutnya, masih dapat mempersempit sektor penerima HGBT agar difokuskan pada industri yang benar-benar strategis seperti pupuk dan petrokimia. Dua industri itu dinilai memberi dampak besar terhadap perekonomian dan efisiensi subsidi.
“Sektor lain bisa mulai diarahkan untuk beradaptasi, dengan pemerintah menyiapkan program mitigasi seperti relokasi tenaga kerja atau pelatihan agar risiko PHK dapat ditekan,” ucap Yusuf.
Dalam kaitan itu, Yusuf menegaskan skema pengetatan sektor penerima dan skema penyaluran berbasis kinerja baru akan efektif jika pengawasan dilakukan secara ketat.
Dia juga memandang masih terdapat ruang bagi pemerintah untuk mengalihkan sebagian dana subsidi sebagai kompensasi untuk PGN agar beban distribusi lebih seimbang.
“Selain itu, pemerintah bisa menambahkan masa transisi 6–12 bulan bagi industri agar punya waktu beradaptasi dengan skema baru,” terangnya.
Pada Maret tahun lalu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pernah mengestimasikan penerimaan negara dari selisih harga yang timbul imbas kebijakan HGBT pada 2023 mencapai US$1 miliar atau sekitar Rp15,6 triliun (kurs saat itu).
Angka tersebut dihitung berdasarkan perkiraan selisih harga yang semestinya diterima negara dari hasil penjualan gas di hulu tanpa kebijakan yang diterapkan sejak 2020 itu.
Untuk diketahui, sejumlah pelaku usaha mengeluhkan terjadi pengetatan pasokan gas bumi untuk program HGBT. Mereka memprotes PGN yang membatasi volume penyaluran HGBT dan mengenakan surcharge atau biaya tambahan yang tinggi pada Agustus.
Dalam surat resmi PGN bernomor 048800.PENG/PP/PDO/2025, manajemen menyatakan keadaan darurat tersebut terjadi sejak 15 Agustus 2025, tetapi tidak dijelaskan tenggat kondisi darurat itu.
Usai pengumuman keadaan darurat tersebut, industriawan dari sektor-sektor penerima HGBT ramai-ramai melaporkan pasokan gas dari PGN menyusut. Mereka juga mengeluhkan adanya pembatasan volume penggunaan HGBT menjadi hanya 48% dari alokasi.
Sementara itu, sisa kebutuhan gas sebesar 52% harus dipenuhi dengan pasokan regasifikasi LNG dengan biaya tambahan yang tinggi dari harga dasar.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief menekankan HGBT merupakan keputusan Presiden, sehingga tidak seharusnya ada yang menaikkan harga apalagi membatasi pasokan.
Febri membeberkan surcharge yang ditanggung industri akibat pembatasan pasokan gas oleh PGN itu mencapai US$16,77/MMBtu, sangat jauh dari HGBT. Katanya, pengetatan pasokan gas dengan harga khusus akan berimbas terhadap keberlangsungan industri manufaktur.
Dalam perkembangannya, PGN mengumumkan bahwa pasokan gas bumi yang dialirkan ke wilayah Jawa Barat telah kembali normal, setelah sebelumnya sempat tersendat akibat pasokan dari hulu mengalami permasalahan.
Sekadar catatan, pemerintah mematok HGBT hanya sekitar US$6,5—US$7 per million british thermal unit (MMBtu) untuk 7 sektor industri antara lain pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Amanat itu tertuang dalam Kepmen ESDM No.76/2025. Dalam Kepmen tersebut, HGBT dibedakan berdasarkan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar sebesar US$7/MMBtu dan untuk bahan baku sebesar US$6,5/MMBtu.
(azr/wdh)


































