Lebih lanjut, meskipun pengetatan penerbitan izin pabrik LFP menimbulkan dilema, BKPM akan tetap mengkaji potensi kerugian yang ditimbulkan dari baterai LFP ketika masa pakainya berakhir.
“Namun, kita harus mengkaji lagi nih, setelah 7—10 tahun ke depan, waste-nya ini akan memunculkan kerugian seberapa besar juga. Nah ini kan yang harus kita kalkulasi. Nett-nya kita harus untung,” tegas dia.
Adapun, sejumlah pabrikan mobil listrik yang berjualan di Tanah Air diperbolehkan mengimpor kendaraan dalam bentuk utuh untuk waktu tertentu dan jika telah berkomitmen berinvestasi dalam industri EV di Tanah Air.
Menurut Nurul, jika aturan yang salah satunya tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 tersebut telah berakhir maka BKPM akan mendorong agar perusahaan-perusahaan tersebut membangun pabrik kendaraan listrik yang menggunakan NMC.
“Bikin EV. Nanti kita akan mendorong supaya bisa menggunakan pabrik NMC. Kita tidak terlalu membuka kesempatan untuk pabrik LFP,” tegas dia.
Dia menyatakan hal tersebut dilakukan sebab LFP tak dapat didaur ulang dan baterai LFP yang telah usang tersebut berpotensi menjadi limbah berbahaya dalam 7—10 tahun mendatang.
Beri Insentif
Di sisi lain, Kementerian Keuangan juga tengah mengkaji pemberian insentif perpajakan bagi industri mobil listrik dalam rangka mendorong adopsi teknologi baterai berbasis nikel.
Analis Kebijakan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kemenkeu Riznaldi Akbar menjelaskan rencana insentif perpajakan tersebut bisa diberikan untuk pabrikan mobil EV maupun pabrikan baterai sebab melingkupi ekosistem baterai EV.
“Itu pasti kan insentif pajak ya. Nah biasanya itu [insentifnya berupa] pembebasan bea masuk, atau PPnBM DTP,” kata Riznaldi kepada awak media, di sela International Battery Summit 2025, Rabu (6/8/2025).
Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah mendorong pabrikan mobil listrik untuk mengadopsi teknologi baterai berbasis nikel.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan dorongan itu bakal mengambil bentuk regulasi spesifik ihwal penggunaan baterai NMC serta insentif tambahan untuk menarik minat investasi pada baterai berbasis nikel tersebut.
“Sambil pelan-pelan kita juga mendorong regulasi untuk yang pabrik-pabrik EV Indonesia sekarang yang produsen mobilnya supaya beralih dari lithium ke nickel based,” kata Kartika kepada awak media, di sela International Battery Summit 2025, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Kartika beralasan sebagian besar pabrikan EV saat ini masih menggunakan baterai LFP.
Dia berharap intervensi pemerintah dari sisi regulasi dan insentif itu belakangan dapat menarik investasi lebih banyak pada penggunaan baterai NMC di Indonesia.
“Kita ingin dukungan dari kementerian-kementerian lain agar ada insentif buat beralih ke nickel based battery juga di Indonesia,” tuturnya.
Adapun, saat ini setidaknya terdapat sejumlah produsen mobil listrik di Indonesia yang menggunakan LFP sebagai bahan baku baterai untuk produknya. Antara lain Build Your Dreams (BYD), Wuling, hingga Chery.
Di Indonesia sendiri, investasi di proyek LFP sudah mulai direalisasikan sejak tahun lalu seiring dengan dimulainya tahap pertama produksi dan rencana ekspansi pabrik bahan katoda LFP oleh PT LBM Energi Baru Indonesia pada 8 Oktober 2024.
Adapun, proyek ini terwujud melalui rencana kemitraan investasi antara konsorsium Indonesia Investment Authority (INA) dan Changzhou Liyuan New Energy Technology Co Ltd (Changzhou Liyuan), salah satu produsen dan pemasok LFP terbesar di dunia.
Fasilitas yang terletak di Kendal Industrial Park (KIP) ini—salah satu kompleks industri terbesar di Indonesia dengan status Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) — diproyeksikan untuk menjadi produsen katoda LFP terbesar di dunia, di luar China.
Investasi bersama yang direncanakan sebesar US$200 juta tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 30.000 ton pada fase I, yakni yang saat ini sedang dalam pelaksanaan produksi percontohan, menjadi 90.000 ton pada fase II, yang diharapkan akan dimulai pada 2025.
Kemitraan strategis dengan China ini berfokus pada bahan katoda LFP yang mewakili nilai tambah tertinggi dalam rantai nilai baterai. Pada 2030, Indonesia diperkirakan melayani pasar senilai sekitar US$10 miliar dalam bahan aktif katoda LFP.
(azr/wdh)





























