Namun dalam petitum, para pemohon menegaskan bahwa frasa "Penggunaan secara komersial ciptaan" harus dinyatakan inkonstitusional jika tidak dimaknai “Penggunaan secara komersial ciptaan kecuali dilakukan dalam suatu pertunjukan.”
Menurut mereka, penggunaan ciptaan dalam konteks pertunjukan telah diakomodasi oleh sistem lisensi kolektif melalui LMK Nasional (LMKN), sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5), yang menyatakan bahwa pertunjukan dapat dilakukan tanpa izin langsung asalkan royalti dibayarkan melalui LMK.
Dalam persidangan kasus tersebut, para pemohon menyoroti bahwa pelaksanaan sistem blanket license masih belum efektif. Mereka menjelaskan bahwa semestinya alur perizinan berlangsung sebagai berikut:
- Pengguna mengajukan permohonan lisensi ke LMKN
- LMKN menyusun perjanjian dan menentukan tarif royalti
- Pengguna membayar royalti melalui LMKN
- LMKN mendistribusikan royalti kepada pencipta atau pemilik hak
Namun dalam praktiknya, masih banyak insiden yang menunjukkan inkonsistensi penegakan norma. Contoh konkret disampaikan oleh penyanyi Sammy Simorangkir dan Lesti Kejora, yang menjadi saksi dalam sidang sebelumnya. Mereka mengaku mendapat somasi bahkan ancaman pidana hanya karena membawakan lagu dalam pertunjukan yang sudah disetujui panitia.
Selain Pasal 9 ayat (3), petitum juga mencakup permohonan pengujian terhadap Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta. Intinya, para pemohon mempersoalkan:
- Pasal 9 (3); yang mengharuskan izin langsung, namun diminta mengecualikan untuk pertunjukan
- Pasal 23 (5); pernyataan ‘Setiap Orang’ terlalu luas, dimohon hanya berlaku untuk pelaku pertunjukan
- Pasal 87 (1); frasa “Imbalan yang wajar” tidak jelas, dan dimohon untuk disesuaikan dengan tarif resmi
- Pasal 113 (2); hukuman pidana terlalu keras untuk pelaku pertunjukkan, dan dimohon untuk dibedakan jika sudah/telah membayar royalti.
Dalam sidang pleno sebelumnya (30/6), Dirjen Kekayaan Intelektual Razilu menegaskan bahwa UU Hak Cipta bersifat administratif dan pidana adalah ultimum remedium—bukan alat utama untuk menyelesaikan sengketa. Pemerintah juga menyatakan mediasi wajib dilakukan sebelum menempuh jalur pidana.
Namun, Ketua PAPPRI, Marcell Siahaan, menyatakan bahwa masalah utamanya justru terletak pada gagalnya penafsiran norma hukum secara seragam, yang menyebabkan musisi dan penyelenggara pertunjukan terombang-ambing dalam ketidakjelasan legalitas.
Armand menyampaikan bahwa langkah hukum ini bukan semata membela kepentingan pribadi atau musisi saja, tetapi juga menegakkan prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam industri kreatif nasional.
“Kalau pelaku pertunjukan seperti kami bisa dipidanakan hanya karena tampil menyanyikan lagu, lalu bagaimana masa depan kreativitas di Indonesia?” ujarnya.
MK dijadwalkan akan melanjutkan sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli dan pihak terkait. Keputusan MK atas perkara ini dinanti banyak pihak karena dapat menjadi preseden penting dalam sistem perlindungan hak cipta serta mekanisme lisensi pertunjukan di tanah air.
(fik/spt)






























